bieNveNue suR moN bLog

Merci de visiter mon blog fiLLe
je l'espère peuvent vous aider

Rabu, 20 Oktober 2010

Ruang Lingkup Agropolitan


PENDAHULUAN

Kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan serta kemiskinan di perdesaan telah mendorong upaya-upaya pembangungan di kawasan perdesaan. Meskipun demikian, pendekatan pengembangan kawasan perdesaan seringkali dipisahkan dari kawasan perkotaan. Hal ini telah mengakibatkan terjadinya proses urban bias yaitu pengembangan kawasan perdesaan yang pada awalnya ditujukan untuk meningkatkan kawasan kesejahteraan masyarakat perdesaan malah berakibat sebaliknya yaitu tersedotnya potensi perdesaan ke perkotaan baik dari sisi sumber daya manusia, alam, bahkan modal (Douglas, 1986).

Dalam rangka memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang ada khususnya yang terkait dengan pengembangan pertanian dalam arti luas maka diupayakan suatu pendekatan melalui produk pengaturan yang berupa pedoman pengelolaan ruang kawasan sentra produksi pangan nasional dan daerah (agropolitan).

Hal ini perlu dilakukan agar para pelaku pembangunan dapat memanfaatkan lahan yang ada untuk berbagai kegiatan yang berbasis kepada pertanian. Konsepsi mengenai agropolitan dalam penataan ruang lebih diarahkan kepada bagaimana memberikan arahan pengelolaan tata ruang suatu wilayah agropolitan, khususnya kawasan sentra produksi pangan nasional dan daerah.

Pedoman kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) merupakan suatu upaya untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan dan penataan ruang pertanian di pedesaan. Pengelolaan ruang agropolitan adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang yang diperuntukkan bagi pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan usaha-usaha berbasis agribisnis lainnya dalam skala nasional. Sementara itu pengelolaan ruang kawasan sentra produksi pangan nasional dan daerah merupakan arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang bagi peruntukan pertanian tanaman pangan.

Istilah agropolitan telah mengemuka dalam tataran konsep atau teori maupun implementasi kebijakan. Dalam tataran konsep, orang mencoba mencari asal-muasal dari mana agropolitan dapat didekati dengan konsep yang telah ada. Sementara ini ditemukan, bahwa agropolitan adalah hasil pendekatan terhadap teori-teori pembangunan yang berbasis pada sektor pertanian, atau pembangunan wilayah pertanian. Pengambil keputusan kemudian menarik benang merahnya secara langsung kepada implementasi kebijakan pembangunan. Bila dilihat bahwa suatu wilayah memiliki karakteristik sosial, ekonomi dan lingkungan dari sektor pertanian secara signifikan, seorang perencana dapat mengusulkan suatu kebijakan pembangunan agropolitan.


PENGERTIAN DAN KAWASAN AGROPOLITAN

Agropolitan adalah suatu konsep pembangunan berdasarkan aspirasi masyarakat bawah yang tujuannya tidak hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi juga mengembangkan segala aspek kehidupan social (pendidikan, kesehatan, seni-budaya, politik, pertahanan-keamanan, kehidupan beragama, kepemudaan dan pemberdayaan pemuda dan kaum perempuan).

Agropolitan, diartikan sebagai upaya pengembangan kawasan pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis, yang diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan-kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya.

Kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) merupakan kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya.

Kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) terdiri dari kota pertanian dan desa-desa sentra produksi pertanian yang ada disekitarnya, dengan batasan yang tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintahan, tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan skala ekonomi kawasan yang ada.

Pengelolaan ruang dimaknakan sebagai kegiatan pengaturan, pengendalian, pengawasan, evaluasi, penertiban dan peninjauan kembali atas pemanfaatan ruang kawasan sentra produksi pangan (agropolitan).

Program pengembangan kawasan sentra produksi pangan (agropolitan )adalah pembangunan ekonomi berbasis pertanian yang dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada, yang utuh dan menyeluruh, yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi, yang digerakkan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah.

Kawasan perdesaan harus dikembangkan sebagai satu kesatuan pengembangan wilayah berdasarkan keterkaitan ekonomi antara desa-kota (urban-rural linkages), dan menyeluruh hubungan yang bersifat interpendensi/timbal balik yang dinamis.


KONSEP AGROPOLITAN

Konsep agropolitan secara sederhana bisa diartikan sebagai pengembangan pertanian perkotaan sebagaimana asal kata agro (pertanian) dan politan (kota).

Perkembangan dan sejarah konsep pembangunan wilayah mengalami perubahan yang dinamis.Pertama, dimulai dengan konsep teori central place dari Christaller pada tahun 1933. Konsep ini bertujuan ingin menjelaskan pilihan-pilihan lokasi untuk sektor-sektor publik dan pribadi, serta dimana posisi pemerintah mengambil keputusan sehingga menghasilkan alokasi yang optimal bagi berbagai fungsi layanan ekonomi. Kedua, konsep neoklasik. Konsep ini menyatakan bahwa penggunaan sumberdaya dapat menjadi optimum dan distribusi pendapatan dan pertumbuhan antar wilayah akan merata apabila mekanisme pasar berfungsi sebagaimana mestinya.Ketiga, teori growth pole. Konsep ini berkembang di Perancis pada tahun 1950 dimana suatu  industri tertentu perlu dikembangkan dengan berbagai fasilitas pendukungnya sehingga  menstimulasi berbagai aktifitas ekonomi di wilayah sekitarnya.Keempat, teoriex port  base. Teori berkembang di Amerika Serikat pada awal dekade lima puluhan, dimana pertumbuhan wilayah dipicu oleh permintaan eksternal. Selanjutnya pendapatan yang diterima dari ekspor digunakan untuk menstimulasi permintaan internal dan pertumbuhan wilayah.Kelima,centre-periph ery-m odels. Model dicetuskan oleh Gunard Myrdal pada tahun 1957 sebagai pertanyaan terhadap penerapan model neoklasik di negara berkembang. Myrdal mengatakan bahwa negara berkembang tidak mungkin berdampingan dengan negara maju dalam kerangka mekanisme pasar, karena akan menghasilkan kesenjangan yang makin parah. Model Myrdal baru diakui pada awal tujuh puluhan sebagai paradigma baru pembangunan. Myrdal menginginkan feri- feri harus memperoleh perhatian yang proporsional agar kesenjangan dapat dihentikan.

Konsep pembangunan agropolitan diangkat dari pemikiran Myrdal dalam konteks yang lebih spesifik, yakni keadaan negara-negara Asia yang umumnya berpenduduk padat, serta sistem pertaniannya labor intensive dalam skala usaha kecil. Friedmann menstimulasi berbagai aktifitas ekonomi di wilayah sekitarnya.Keempat, teoriex port base. Teori berkembang di Amerika Serikat pada awal dekade lima puluhan, dimana  pertumbuhan wilayah dipicu oleh permintaan eksternal. Selanjutnya pendapatan yang diterima dari ekspor digunakan untuk menstimulasi permintaan internal dan pertumbuhan wilayah.Kelima,centre-periph ery-m odels. Model dicetuskan oleh Gunard Myrdal pada tahun 1957 sebagai pertanyaan terhadap penerapan model neoklasik di negara berkembang. Myrdal mengatakan bahwa negara berkembang tidak mungkin berdampingan dengan negara maju dalam kerangka mekanisme pasar, karena akan menghasilkan kesenjangan yang makin parah. Model Myrdal baru diakui pada awal tujuh puluhan sebagai paradigma baru pembangunan. Myrdal menginginkan feri- feri harus memperoleh perhatian yang proporsional agar kesenjangan dapat dihentikan.

Pembangunan pertanian tidak terlepas dari pengembangan kawasan pedesaan yang menempatkan pertanian sebagai penggerak utama perekonomian. Lahan, potensi tenaga kerja, dan basis ekonomi keluarga pedesaan menjadi faktor utama pengembangan pertanian. Saat ini disadari bahwa pembangunan pertanian tidak saja bertumpu di desa tetapi juga diperlukan integrasi dengan kawasan dan dukungan sarana serta prasarana yang tidak saja berada di pedesaan.

Struktur perekonomian wilayah merupakan faktor dasar yang mem-bedakan suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Perbedaan tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi dan potensi suatu wilayah dari segi fisik lingkungan, sosial ekonomi dan kelembagaan.

Pembangunan pedesaan membutuhkan pusat pertumbuhan dengan pendekatan pengembangan wilayah yang menekankan pada keswadayaan dan kemandirian pada tingkat teritorial kecil. Keterkaitan pedesaan dan faktor-faktor pendukung tersebut memunculkan model pengembangan agropolitan.

Konsep agropolitan secara sederhana bisa diartikan sebagai pengembangan pertanian perkotaan sebagaimana asal kata agro (pertanian - Red) dan politan (kota - Red). Dengan demikian, agropolitan merupakan kawasan khususnya perkotaan yang berkembang karena roda pertanian dan sarana pendukung agribisnis lainnya berjalan baik.

Pada tataran yang lebih luas pengembangan pun dititikberatkan pada kawasan agropolitan dalam rangka pembangunan ekonomi berbasis pertanian.

Departemen Pertanian bersama Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi bersama-sama mulai menggagas pengembangan kawasan agropolitan tersebut.

Agropolitan pada dasarnya adalah meningkatkan percepatan pembangunan wilayah dan meningkatkan keterkaitan desa dan kota serta mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis pada daerah-daerah potensi sebagai kawasan pengembangan agropolitan.

Dengan demikian agropolitan tidak jauh berbeda dengan pola-pola seperti Pengembangan Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET) dan Kawasan Sentra Produksi (KSP).

Kawasan agropolitan merupakan program bertahap dan berorientasi jangka panjang, di mana organisasi dan tata kerja yang dikembangkan harus mampu mengakomodasi semua kepentingan dengan mempertimbangkan berbagai aspek baik masyarakat, kelembagaan petani, dunia usaha, kelembagaan sistem agribisnis dan luasan kawasan. Setidaknya, kawasan agropolitan perlu didukung dengan lembaga keuangan, pasar, kelembagaan petani, akses informasi, sarana transportasi dan jalur distribusi yang singkat.

Disamping itu, Kawasan agropolitan ini juga dicirikan dengan kawasan pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis di pusat agropolitan yang diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan-kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya.

Dalam pengembangannya, kawasan tersebut tidak bisa terlepas dari pengembangan sistem pusat-pusat kegiatan nasional (RTRWN) dan sistem pusat kegiatan pada tingkat Propinsi (RTRW Propinsi) dan Kabupaten (RTRW Kabupaten). Hal ini disebabkan, rencana tata ruang wilayah merupakan kesepakatan bersama tentang pengaturan ruang wilayah. Terkait dengan Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN), maka pengembangan kawasan agropolitan harus mendukung pengembangan kawasan andalan. Dengan demikian tujuan pembangunan nasional dapat diwujudkan.

Disamping itu, pentingnya pengembangan kawasan agropolitan di Indonesia diindikasikan oleh ketersediaan lahan pertanian dan tenaga kerja yang murah, telah terbentuknya kemampuan (skills) dan pengetahuan (knowledge) di sebagian besar petani, jaringan (network) terhadap sektor hulu dan hilir yang sudah terjadi, dan kesiapan pranata (institusi). Kondisi ini menjadikan suatu keuntungan kompetitif (competitive advantage) Indonesia dibandingkan dengan negara lain karena kondisi ini sangat sulit untuk ditiru (coping) (Porter, 1998). Lebih jauh lagi, mengingat pengembangan kawasan agropolitan ini menggunakan potensi lokal, maka konsep ini sangat mendukung perlindungan dan pengembangan budaya sosial local (local social culture).

Konsepsi Pengembangan Kawasan Agropolitan

Secara lebih luas, pengembangan kawasan agropolitan diharapkan dapat mendukung terjadinya sistem kota-kota yang terintegrasi. Hal ini ditunjukkan dengan keterkaitan antar kota dalam bentuk pergerakan barang, modal, dan manusia. Melalui dukungan sistem infrastruktur transportasi yang memadai, keterkaitan antar kawasan agropolitan dan pasar dapat dilaksanakan. Dengan demikian, perkembangan kota yang serasi, seimbang, dan terintegrasi dapat terwujud


RUANG LINGKUP AGROPOLITAN

A.  Sistem Kawasan
Kawasan Sentra produksi pangan (agropolitan) bisa terdiri atas:
1)  Kawasan lahan pertanian (hinterland),
Berupa kawasan pengolahan dan kegiatan pertanian yang mencakup kegiatan pembenihan, budidaya dan pengelolaan pertanian. Penentuan hinterland berupa kecamatan/desa didasarkan atas jarak capai/radius keterikatan dan ketergantungan kecamatan/desa tersebut pada kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) di bidang ekonomi dan pelayanan lainnya.

2)    Kawasan pemukiman
Merupakan kawasan tempat bermukimnya para petani dan penduduk kawasan sentra produksi pangan (agropolitan)

3)    Kawasan pengolahan dan industry
Merupakan kawasan tempat penyeleksian dan pengolahan hasil pertanian sebelum dipasarkan dan dikirim ke terminal agribisnis atau pasar, atau diperdagangkan. Dikawasan ini bisa berdiri pergudangan dan industri yang mengolah langsung hasil pertanian menjadi produk jadi.

4)    Kawasan pusat prasarana dan pelayanan umum
Yang terdiri dari pasar, kawasan perdagangan, lembaga keuangan, terminal agribisnis dan pusat pelayanan umum lainnya.

5)    Keterkaitan antara kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) dengan kawasan lainnya, misalnya; kawasan permukiman, kawasan industri, dan kawasan konservasi alam.



B. Cakupan Wilayah
Suatu wilayah atau kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) bias dipetakan berdasarkan potensi sektor unggulan suatu usaha pertanian dari wilayah tersebut. Cakupan wilayah kawasan sentra produksi pangan (agropolitan) terbagi atas tipologi pertanian:
1) Sektor usaha pertanian tanaman pangan
2) Sektor usaha pertanian hortikultura
3) Sektor usaha perkebunan
4) Sektor usaha peternakan
5) Sektor usaha perikanan darat
6) Sektor usaha perikanan laut
7) Sektor usaha agrowisata
8) kawasan hutan wisata konservasi alam


C. Tipologi Kawasan
01. Tanaman Pangan
Tipologi Kawasan     :           Dataran rendah dan dataran tinggi, dengan tekstur lahan
                                     yang datar, memiliki sarana pengairan (irigasi) yang
                                     memadai.
Persyaratan Agroklimat    :  Harus sesuai dengan jenis komoditi yang
                                                 dikembangkan seperti ketinggian lahan, jenis
                                                 tanah, testur lahan, iklim, dan tingkat keasaman
                                                 tanah.

02. Hortikultura
Tipologi Kawasan     :           Dataran rendah dan dataran tinggi, dengan tekstur lahan
                                     datar dan berbukit, dan tersedia sumber air yang
                                     memadai.
Persyaratan Agroklimat    :  Harus sesuai dengan jenis komoditi yang
        dikembangkan seperti ketinggian lahan, jenis
        tanah, testur lahan, iklim, dan tingkat keasaman
        tanah.

03. Perkebunan
Tipologi Kawasan     : Dataran tinggi, dengan tekstur lahan berbukit, dekat
                                   dengan kawasan konservasi alam.
Persyaratan Agroklimat    :  Harus sesuai dengan jenis komoditi yang
                                                 dikembangkan seperti ketinggian lahan, jenis
                                                 tanah, testur lahan, iklim, dan tingkat keasaman
                                                 tanah.

04. Peternakan
Tipologi Kawasan  : Dekat kawasan pertanian dan perkebunan, dengan
                                     sistem             sanitasi yang memadai.
Persyaratan Agroklimat    :  Lokasi tidak boleh berada dipermukiman dan
                                                 memperhatikan aspek adaptasi lingkungan.

05. Perikanan darat
Tipologi Kawasan  : Terletak pada kolam perikanan darat, tambak, danau
                                     alam dan danau buatan, daerah aliran sungai baik dalam
                                     bentuk keramba maupun tangkapan alam
Persyaratan Agroklimat    : Memperhatikan aspek keseimbangan ekologi dan
                                                tidak merusak ekosistem lingkungan yang ada.
06. Perikanan laut
Tipologi Kawasan  : Daerah pesisir pantai hingga lautan dalam hingga batas
                                  wilayah zona  ekonomi ekslusif perairan NKRI.
Persyaratan Agroklimat    :  Memperhatikan aspek keseimbangan ekologi dan
                                                 tidak merusak ekosistem lingkungan yang ada.

07. Agrowisata
Tipologi Kawasan  : pengembangan usaha pertanian dan perkebunan yang
                     disamping tetap berproduksi dikembangkan menjadi
                     kawasan wisata alam tanpa meninggalkan fungsi
                     utamanya sebagai lahan pertanian produktif.
            Persyaratan Agroklimat    : Harus sesuai dengan jenis komoditi yang
                                                           dikembangkan seperti ketinggian lahan, jenis
                                                           tanah, testur lahan, iklim, dan tingkat keasaman
                                                          tanah.

08. hutan wisata
Tipologi Kawasan : kawasan hutan lindung konservasi alam dikawasan tanah
                                    milik negara, kawasan ini biasanya berbatasan langsung
                                    dengan kawasan lahan pertanian dan perkebunan
                                    dengan tanda batas wilayah yang jelas.
Persyaratan Agroklimat   :  Sesuai dengan karakteristik lingkungan alam   
                                                            wilayah konservasi hutan setempat.


D. Infrastruktur
Infrastruktur penunjang diarahkan untuk mendukung pengembangan system dan usaha agribisnis dalam suatu kesisteman yang utuh dan menyeluruh pada kawasan sentra produksi pangan (agropolitan), yang meliputi:
1)  Dukungan sarana dan prasarana untuk menunjang subsistem agribisnis hulu (up stream agribusiness) untuk menunjang kelancaran aliran barang masuk dari kota ke kawasan sentra produksi pangan dan sebaliknya, seperti : bibit, benih, mesin dan peralatan pertanian, pupuk, pestisida, obat/vaksin ternak dll.
Jenis dukungan sarana dan prasarana dapat berupa:
a. Jalan penghubung antar desa-kota
b. Gudang penyimpanan Saprotan (sarana produksi pertanian)
c. Tempat bongkar muat Saprotan

2)  Dukungan sarana dan prasarana untuk menunjang subsistem usaha tani/pertanian primer (on-farm agribusiness) untuk peningkatan produksi usaha budi-daya pertanian: tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan. Jenis dukungan sarana dan prasarana dapat berupa:
a.     Jalan usaha tani (farm road) dari desa pusat ke desa hinterland maupun antar desa hinterland yang menjadi pemasok hasil pertanian.
b.     Penyediaan sarana air baku melalui pembuatan sarana irigasi untuk mengairi dan menyirami lahan pertanian.
c.      Dermaga, tempat pendaratan kapal penangkap ikan, dan tambatan perahu pada kawasan budi daya perikanan tangkapan, baik di danau ataupun di laut.
d.     Sub terminal pengumpul pada desa-desa yang menjadi hinterland

3)  Dukungan sarana dan prasarana untuk mendukung subsistem agribisnis hilir (down stream agribusiness) berupa industri-industri pengolahan hasil pertanian sebelum dipasarkan sehingga mendapat nilai tambah. Jenis dukungan sarana dan prasarana dapat berupa :
a.     Sarana pengeringan hasil pertanian seperti: lantai jemur gabah, jagung, kopi, coklat, kopra, dan tempat penjemuran ikan.
b.     Gudang penyimpanan hasil pertanian, termasuk didalamnya sarana pengawetan/pendinginan (cold storage).
c.      Sarana pengolahan hasil pertanian seperti: tempat penggilingan, tempat
b.     pengemasan, rumah potong hewan, tempat pencucian dan sortir hasil
c.      pertanian, sarana industri-industri rumah tangga termasuk food service, seperti: pembuatan kripik, dodol, jus, bubuk/tepung, produk segar supermarket, aero catering, dan lain-lain.
d.     Sarana pemasaran dan perdagangan hasil pertanian seperti: pasar tradisional, kios cendramata, pasar hewan, tempat pelelangan ikan, dan terminal agribisnis.
e.     Terminal, pelataran, tempat parkir serta bongkar muat barang, termasuk sub terminal agribisnis (STA).
f.       Sarana promosi dan pusat informasi pengembangan agribisnis
g.     Sarana kelembagaan dan perekonomian seperti bangunan koperasi usaha bersama (KUB), perbankan, balai pendidikan dan pelatihan agribisnis.
h.     Jalan antar desa-kota, jalan antar desa, jalan poros desa dan jalan lingkar desa yang menghubungkan beberapa desa hinterland.
i.       Sarana penunjang seperti: pembangkit listrik/generator listrik, telepon, sarana air bersih untuk pembersihan dan pengolahan hasil pertanian, sarana pembuangan limbah industri dan sampah hasil olahan.

E. Kelembagaan
1)  Lingkup pedoman kelembagaan adalah suatu ketentuan berupa system pengelolaan yang menjembatani berbagai kepentingan antara instansi tekait atau disebut protocol

2)  Protokol diarahkan kepada pengaturan hubungan antara pemangku kepentingan dan antar tingkat pemerintahan baik di pusat maupun daerah

3)  Pihak-pihak stakeholders yang berkepentingan dan terkait dengan pedoman ini adalah:
a.     Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah
b.     Departemen Pertanian
c.      Departemen Kelautan dan Perikanan
d.     Departemen Perdagangan dan Perindustrian
e.     Departemen Dalam Negeri
f.       Departemen Perhubungan
g.     Departemen Kehutanan
h.     Kantor Menteri Muda Pengembangan Kawasan Timur Indonesia
b.     Kantor Menteri Lingkungan Hidup dan Bapedal
c.      Badan Pertanahan Nasional
d.     BPPT / LIPI
e.     Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
f.       Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD)
g.     BKTRN (Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional)
h.     TKPRD (Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah)
i.       Pemerintah Daerah Tingkat I
j.       Pemerintah Daerah Tingkat II
k.      Perguruan Tinggi
l.       Lembaga Swadaya Masyarakat
m.    Dunia usaha
n.     Masyarakat umum

Melalui keterkaitan tersebut, pusat agropolitan dan kawasan produksi pertanian berinteraksi satu sama lain secara menguntungkan. Dengan adanya pola interaksi ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah (value added) produksi kawasan agropolitan sehingga pembangunan perdesaan dapat dipacu dan migrasi desa-kota yang terjadi dapat dikendalikan.