bieNveNue suR moN bLog

Merci de visiter mon blog fiLLe
je l'espère peuvent vous aider

Jumat, 19 November 2010

Sistem Ekonomi Pancasila


Sistem Ekonomi Pancasila adalah “aturan main” kehidupan ekonomi atau hubungan-hubungan ekonomi antar pelaku-pelaku ekonomi yang didasarkan pada etika atau moral Pancasila dengan tujuan akhir mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Etika Pancasila adalah landasan moral dan kemanusiaan yang dijiwai semangat nasionalisme (kebangsaan) dan kerakyatan, yang kesemuanya bermuara pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Intisari Pancasila (Eka Sila) menurut Bung Karno adalah gotongroyong atau kekeluargaan, sedangkan dari segi politik Trisila yang diperas dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa (monotheisme), sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi.

Praktek-praktek liberalisasi perdagangan dan investasi di Indonesia sejak medio delapanpuluhan bersamaan dengan serangan globalisasi dari negara-negara industri terhadap  negara-negara berkembang, sebenarnya dapat ditangkal dengan penerapan sistem ekonomi Pancasila. Namun sejauh ini gagal karena politik ekonomi diarahkan pada akselerasi pembangunan yang lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi tinggi ketimbang pemerataan hasil-hasilnya.

Peran Negara dalam Program Ekonomi dan Sosial

Meskipun ada kekecewaan besar terhadap amandemen UUD 1945 dalam ST MPR 2002 yang semula akan menghapuskan asas kekeluargaan pada pasal 33, yang batal, namun putusan untuk menghapus seluruh penjelasan UUD sungguh merupakan kekeliruan sangat serius. Syukur, kekecewaan ini terobati dengan tambahan 2 ayat baru pada pasal 34 tentang pengembangan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan pemberdayaan masyarakat lemah dan tidak mampu (ayat 2), dan tanggungjawab negara dalam penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak  (ayat  3). Di samping itu pasal 31, yang semula hanya terdiri atas 2 ayat, tentang pengajaran sangat diperkaya dan diperkuat dengan penggantian istilah pengajaran dengan pendidikan. Selama itu pemerintah juga diamanatkan untuk menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk semua itu negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari nilai APBN dan APBD.

Demikian jika ketentuan-ketentuan baru dalam penyelenggaraan program-program sosial ini dipatuhi dan dilaksanakan dengan baik, sebenarnya otomatis telah terjadi koreksi total atas sistem perekonomian nasional dan sistem penyelenggaraan kesejahteraan sosial kita yang tidak lagi  liberal dan diserahkan sepenuhnya pada kekuatan-kekuatan pasar  bebas. Penyelenggaraan program-program sosial yang agresif  dan serius yang semuanya dibiayai negara dari pajak-pajak dalam APBN dan APBD akan merupakan jaminan dan wujud nyata sistem ekonomi Pancasila.


Pengertian Sistem Ekonomi Pancasila

Sistem ekonomi dimengerti sebagai kumpulan dari institusi yang terintegrasi dan berfungsi serta beroperasi sebagai suatu kesatuan untuk mencapai suatu tujuan (ekonomi) tertentu. Institusi di sini diartikan secara luas sebagai kumpulan dari norma-norma, peraturan atau cara berfikir. Adanya berbagai institusi tersebut dapat mengurangi ketidakpastian dengan memberikan bentuk atau struktur dasar sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pengertian institusi ini juga termasuk institusi ekonomi seperti rumah tangga, pemerintah, kekayaan, uang, serikat pekerja, dan lain-lain.

Dalam suatu perekonomian, setidaknya terdapat 4 (empat) jenis keputusan yang harus diambil setiap waktu. Keputusan-keputusan tersebut adalah yang berkaitan dengan apa yang akan diproduksi, berapa banyak produksi, bagaimana cara memproduksinya, dan bagaimana alokasi produk tersebut. Bagaimana keputusan tersebut diambil tergantung kepada sistem ekonomi yang dianut oleh masyarakat atau negara tersebut.

Berdasarkan mekanisme koordinasi pengambilan keputusan, kita mengenal dua sistem ekonomi, yaitu ekonomi pasar dan ekonomi komando. Dalam sistem ekonomi pasar, keputusan-keputusan seperti tersebut di atas diambil oleh pelaku ekonomi melalui mekanisme pasar yang juga disebut mekanisme harga. Dengan kata lain, pengambilan keputusan sangat terdesentralisasi. Pada sistem ekonomi komando, keputusan diambil berdasarkan suatu komando atau rencana yang terperinci mengenai apa yang harus diproduksi, berapa banyak, bagaimana memproduksinya, dan lain-lain.

Di samping pengambilan keputusan seperti tersebut di atas, ciri lain dari suatu perekonomian adalah pemilikan aset produktif. Dalam sistem ekonomi kapitalis, aset-aset produktif dimiliki oleh individu atau swasta, sedangkan dalam sistem ekonomi sosialis, aset produktif dikuasai oleh masyarakat yang diwakili oleh pemerintah.

Masing-masing sistem tersebut mempunyak kekuatan dan kelemahannya. Oleh karenanya, dalam dunia nyata yang kita kenal adalah sistem ekonomi campuran.

Sistem ekonomi kita, menganut paham ekonomi pasar, atau menurut istilah yang digunakan oleh Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ekonomi pasar terkendali (tahun 1990) atau ekonomi pasar terkelola (tahun 1996).

Apabila pengertian itu yang akan kita anut, karena datang dari pakar-pakarnya, maka kata kuncinya adalah terkelola. Menurut hemat saya yang dimaksud dengan sistem ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi pasar yang terkelola dan kendali pengelolaannya adalah nilai-nilai Pancasila.

Dengan perkataan lain ekonomi Pancasila tentulah harus dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila.

Atas dasar itu maka Ekonomi Pancasila tidak semata-mata bersifat materialistis, karena berlandaskan pada keimanan dan ketakwaan yang timbul dari pengakuan kita pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Keimanan dan ketakwaan menjadi landasan spiritual, moral dan etik bagi penyelenggaraan ekonomi dan pembangunan. Dengan demikian sistem ekonomi Pancasila dikendalikan oleh kaidah-kaidah moral dan etika, sehingga pembangunan nasional kita adalah pembangunan yang berakhlak.

Ekonomi Pancasila, dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, menghormati martabat kemanusiaan serta hak dan kewajiban asasi manusia dalam kehidupan ekonomi. Dengan dasar-dasar moral dan kemanusiaan seperti di atas Ekonomi Pancasila meskipun tidak menghalangi motivasi ekonomi untuk memperoleh keuntungan, namun tidak mengenal predatorpredator ekonomi, yang satu memangsa yang lain.

Ekonomi Pancasila berakar di bumi Indonesia. Meskipun ekonomi dunia sudah menyatu, pasar sudah menjadi global, namun ekonomi Indonesia tetap diabdikan bagi kesejahteraan dan kemajuan bangsa Indonesia. Sila Persatuan Indonesia mengamanatkan kesatuan ekonomi sebagai penjabaran wawasan nusantara di bidang ekonomi. Globalisasi kegiatan ekonomi tidak menyebabkan internasionalisasi kepentingan ekonomi. Kepentingan ekonomi kita tetap diabdikan untuk kepentingan bangsa Indonesia. Ekonomi Pancasila dengan demikian berwawasan kebangsaan dan tetap membutuhkan sikap patriotik meskipun kegiatannya sudah mengglobal.

Sila keempat dalam Pancasila menunjukkan pandangan bangsa Indonesia mengenai kedaulatan rakyat dan bagaimana demokrasi dijalankan di Indonesia. Di bidang ekonomi, Ekonomi Pancasila dikelola dalam sebuah sistem demokratis yang dalam Undang-undang Dasar secara eksplisit disebut demokrasi ekonomi.

Nilai-nilai dasar sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menunjukkan betapa seluruh upaya pembangunan kita, untuk mengembangkan pertumbuhan ekonomi dikaitkan dengan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam sistem ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.


Ekonomi Rakyat, Ekonomi Kerakyatan, dan Ekonomi Pancasila

Sejak reformasi, terutama sejak SI-MPR 1998, menjadi populer istilah Ekonomi Kerakyatan sebagai sistem ekonomi yang harus diterapkan di Indonesia, yaitu sistem ekonomi yang demokratis yang melibatkan seluruh kekuatan ekonomi rakyat. Mengapa ekonomi kerakyatan, bukan ekonomi rakyat atau ekonomi Pancasila? Sebabnya adalah karena kata ekonomi rakyat dianggap berkonotasi komunis seperti di RRC (Republik Rakyat Cina), sedangkan ekonomi Pancasila dianggap telah dilaksanakan selama Orde Baru yang terbukti gagal.

Pada bulan Agustus 2002 bertepatan dengan peringatan 100 tahun Bung Hatta, UGM  mengumumkan berdirinya Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) yang akan secara serius mengadakan kajian-kajian tentang Ekonomi Pancasila dan penerapannya di Indonesia baik di tingkat nasional maupun di daerah-daerah. Sistem Ekonomi Pancasila yang bermoral, manusiawi, nasionalistik, demokratis, dan berkeadilan, jika diterapkan secara tepat pada setiap kebijakan dan program akan dapat membantu terwujudnya keselarasan dan keharmonisan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat.

Sistem Ekonomi Pancasila berisi aturan main kehidupan ekonomi yang mengacu pada ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Dalam Sistem Ekonomi Pancasila, pemerintah dan masyarakat memihak pada (kepentingan) ekonomi rakyat sehingga terwujud kemerataan sosial dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Inilah sistem ekonomi kerakyatan yang demokratis yang melibatkan semua orang dalam proses produksi dan hasilnya juga dinikmati oleh semua warga masyarakat.


Sejarah Sistem Ekonomi

Sejarah sistem ekonomi Pancasila sebenarnya adalah sejarah republic Indonesia. Ia setua republik ini karena lahir dalam jantung bangsa lewat Pancasila dan UUD-45 beserta tafsirannya. Karena itu, sistem ekonomi Pancasila bersumber langsung dari Pancasila sila kelima; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan amanat pasal 27 [2], 33-34 UUD-45. Sila kelima ini menjelaskan bahwa semua orientasi berbangsa dan bernegara—politik ekonomi, hukum, sosial dan budaya—adalah dijiwai semangat keadilan menyeluruh dan diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia. Khusus dalam hal ekonomi diperjelas lagi dalam pasal 27 [2] berbunyi; tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 33 berbunyi; [1] Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. [2] Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasasi oleh negara. [3] Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam bab penjelasan dari pasal 33 bab kesejahteraan sosial lebih jauh dinyatakan bahwa, demokrasi ekonomi adalah produksi yang dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang yang berkuasa dan rakyat banyak akan ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh di tangan orang seorang. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sedang Pasal 34 berbunyi; Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.

Dengan landasan konsepsional tersebut maka sistem ekonomi Pancasila berada  pada tiga level sekaligus; ontologis, epistemologis dan aksiologis. Keberadaan sistem Ekonomi Pancasila sudah ada dengan Pancasila sebagai landasan idealnya dan UUD-45 sebagai landasan konstitusionalnya. Keduanya lebih lanjut dijabarkan dalam Tap MPR/S [GBHN], UU dan Peraturan Pemerintah. GBHN sendiri merupakan arah dan kebijakan negara dalam penyelenggraaan pembangunan, termasuk pembangunan ekonomi. GBHN juga merupakan hasil perencanaan nasional yang disusun oleh pemerintah dan dibahas serta disahkan dalam sidang umum MPR. Pada level Tap MPR tentang GBHN dapat kita lacak dari ketetapan No. XXIII/MPRS/1966. Inti dari ketetapan ini adalah kalimat yang berbunyi, "system ekonomi terpimpin berdasarkan Pancasila sebagai jaminan berlangsungnya demokrasi ekonomi. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan,…" Selanjutnya rumusan tersebut dapat kita lacak mulai dari GBHN 1973-1998 dan GBHN 1999.

Intinya, dalam keseluruhan GBHN 1973-1998, pembangunan ekonomi nasional adalah; Pertama, keseluruhan semangat, arah dan gerak pembangunan dilaksanakan sebagai pengamalan dari semua sila Pancasila secara serasi dan sebagai kesatuan yang utuh yang meliputi pengamalan semua sila dalam Pancasila. Pengamalan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang antara lain mencakup upaya untuk mengembangkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yang dikaitkan dengan pemerataan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam sistem ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Kedua, pembangunan nasional dilaksanakan secara berencana, menyeluruh, terpadu, terarah, bertahap dan berlanjut untuk memacu peningkatan kemampuan nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang telah maju.

Ketiga, dalam kaidah penuntun disebutkan bahwa pembangunan ekonomi harus selalu mengarah pada mantapnya sistem ekonomi nasional berdasarkan Pancasila dan UUD-45 yang disusun untuk mewujudkan demokrasi ekonomi yang harus dijadikan dasar pelaksanaan pembangunan dengan memiliki 8 ciri positif dan 3 ciri negatif. Delapan ciri positif tersebut adalah;
1)        Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.
2)        Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan mengusasi hajat hidup rakyat banyak dikuasai oleh negara.
3)        Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
4)        Sumber-sumber kekayaan dan keuangan negara digunakan dengan permuwakafan lembaga perwakilan rakyat serta pengawasan terhadap kebijakannya ada pada lembaga perwakilan rakyat pula.
5)        Warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki serta mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
6)        Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
7)        Potensi, inisiatif dan daya kreasi setiap warga negara diperkembangkan sepenuhnya dalam batas yang tidak merugikan kepentingan umum.
8)        Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.

Sedangkan 3 ciri negatif yang harus dihindari adalah;
1)        Sistem free fight liberalisme,
2)        Sistem etatisme.
3)        Pemusatan ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.

Keempat, pelaksanaan pembangunan jangka panjang kedua diarahkan untuk tetap bertumpu pada trilogi pembangunan. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi diperlukan untuk menggerakan dan memacu pembangunan di bidang lain sekaligus sebagai kekuatan utama pembangunan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dengan lebih memberi peran kepada rakyat untuk berperan serta aktif dalam pembangunan, dijiwai semangat kekeluargaan, didukung oleh stabilitas nasioanal yang mantap dan dinamis melalui pembangunan yang berkelanjutan dengan memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Pembangunan koperasi perlu dilanjutkan dan makin diarahkan untuk mewujudkan koperasi sebagai badan usaha dan sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang sehat, tangguh, kuat dan mandiri serta sebagai soko guru perekonomian nasional yang merupakan wadah untuk menggalang kemampuan ekonomi rakyat di semua kegiatan perekonomian nasional, sehingga mampu berperan utama dalam meningkatkan kondisi ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Berkaitan dengan itu, perlu ditingkatkan dengan sungguh-sungguh penataan koperasi, usaha negara, dan usaha swasta agar masing-masing melaksanakan fungsi dan perannya dalam perekonomian nasional yang didasarkan pada demokrasi ekonomi berlandaskan Pancasila. Pembangunan ekonomi secara bertahap harus ditata dalam peraturan perundang-undangan.

Kelima, dalam kebijakan umum, pembangunan di bidang ekonomi diarahkan pada pemantapan sistem ekonomi Pancasila sebagai pedoman mengembangkan perekonomian nasional yang berkeadilan dan berdaya saing tinggi yang ditandai oleh makin berkembangnya keanekaragaman industri di seluruh wilayah Indonesia.

Keenam, pembangunan usaha nasional yang terdiri atas Koperasi-BUMNSwasta diarahkan agar tumbuh dan berkembang sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan dalam mekanisme pasar terkelola yang dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan dalam sistem ekonomi Pancasila.

Ketujuh, usaha negara perlu terus diperbaiki dan dipertahankan kinerjanya agar mampu melaksanakan fungsi dan perannya:... memberdayakan pengusaha kecil, menengah dan koperasi... usaha nyata yang kegiatannya menyangkut kepentingan negara dan menguasai hajat hidup orang banyak perlu dikelola secara produktif dan efesien untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan untuk memantapkan perwujudan demokrasi ekonomi.

Globalisasi Sebagai Proses Peleburan Nilai
Dari sudut pandang ekonomi, pengertian paling mendasar dari proses globalisasi adalah perluasan dan pendalaman integrasi pasar barang, jasa dan keuangan antar negara di dunia. Dalam sepuluh tahun terakhir, proses globalisasi dan integrasi itu telah mengalami percepatan karena dorongan universal untuk liberalisasi dan terobosan teknologi informasi, transportasi serta komunikasi yang menyebabkan akselerasi produksi dan distribusi secara internasional.

Kemajuan teknologi yang menyebabkan penurunan biaya transportasi dan komunikasi telah mengurangi jarak antar negara karena penurunan biaya transaksi barang-barang, jasa, dan informasi. Kegiatan produksi dapat dilakukan dimanapun, dengan bahan mentah atau setengah jadi serta komponen dari mana pun dan untuk dipasarkan di mana pun juga. Pada dasarnya yang terjadi adalah peningkatan spesialisasi atau pembagian kerja proses produksi antar Negara berdasarkan keunggulan komparatifnya. Dengan peningkatan spesialisasi tersebut, secara teoritis semua bangsa akan diuntungkan karena ketersediaan barang dan jasa makin meningkat dengan harga yang lebih terjangkau. Peningkatan produksi berarti juga peningkatan lapangan kerja, dan berarti juga peningkatan kesejahteraan.

Namun, proses globalisasi tidak hanya berdampak positif, tetapi juga dapat berdampak merugikan. Salah satu contohnya adalah gejolak moneter yang melanda negara kita dan beberapa negara tetangga yang telah melemahkan perekonomian kita dan negara-negara di kawasan ini. Ada juga kekhawatiran bahwa globalisasi dapat memperlebar perasaan kesenjangan karena makin tajamnya perbedaan dalam laju kecepatan kemajuan antara lapisan masyarakat yang kuat dan yang lemah.

Globalisasi tidak hanya berkenaan dengan mekanisme hubungan ekonomi antar bangsa, tetapi secara lebih mendasar merupakan proses universalisasi nilai-nilai. Gagasan-gagasan bergerak bebas. Kita harus siap menerima kenyataan bahwa banyak hal yang telah menjadi keyakinan selama ini akan dipertanyakan dan diuji keabsahannya atau relevansinya. Kita harus sudah memperhitungkan bahwa sistem kenegaraan dan pandangan-pandangan yang melandasinya akan terus menerus diuji dan ditantang. Karena itu, dalam proses globalisasi kita tidak boleh hilang kemudi, betapa pun kuat arus yang membawanya. Kemudi ini adalah nilai yang dikandung pada waktu bangsa ini memproklamasikan kemerdekaannya. Dengan demikian jatidiri bangsa akan terpelihara, bahkan diperkaya dengan berbagai gagasan baru tersebut. Sebaliknya, jika kita hilang kemudi, maka kita akan terhanyut oleh perubahan-perubahan itu sehingga arah perjalanan bangsa menjadi tidak menentu.


Sistem Ekonomi Pancasila

Dalam konsep kita pembangunan nasional adalah pengamalan Pancasila. Pembangunan ekonomi kita pun harus berlandaskan Pancasila, sebagai dasar, tujuan dan pedoman dalam penyelenggaraannya. Dengan dasar pemikiran tersebut, maka sistem ekonomi yang ingin kita bangun adalah sistem ekonomi Pancasila.

Pembangunan selama ini telah memberikan hasil yang cukup nyata dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemampuan ekonomi nasional, sehingga memberikan modal dan kesempatan kepada kita untuk memikirkan lebih jauh idealisme pembangunan dan menjabarkannya dalam konsep-konsep yang operasional, yang secara bertahap membawa kita ke tujuan itu.

Jelas tidak akan mudah bagi kita untuk mengembangkan konsep ini, karena sebagai konsep ekonomi dan konsep pembangunan harus memenuhi berbagai syarat, di samping idealisme atau pandangan-pandangan yang normatif, harus juga memenuhi kaidah-kaidah ilmiah, sehingga ada asas-asas objektif dan rasional yang dapat dikembangkan. Namun, kita juga tidak berhenti mengupayakannya semata-mata karena belum ada atau belum banyak literatur yang secara mendalam mengkaji konsep ini. Justru kita harus memulainya dan mengembangkan konsensus ke arah itu.

Pada GBHN 1999 [Tap MPR No. 4/MPR/1999] subtansi dari konsep tersebut tetap dipertahankan walaupun dengan perbaikan redaksi yaitu system ekonomi Pancasila menjadi sistem ekonomi kerakyatan dan mekanisme pasar terkelola menjadi mekanisme pasar yang berkeadilan.

Sedangkan di level UU kita dapat lacak antara lain dari UU No. 12/67 tentang perkoperasian, UU No. 6/74 tentang ketentuan pokok kesejahteraan, UU No. 4/79 tentang kesejahteraan anak, UU No. 4/82 tentang pengelolaan lingkungan berbasis rakyat setempat, UU No. 3/89 tentang telekomunikasi untuk kesejahteraan bangsa dan kemakmuran rakyatnya, UU No. 21/92 tentang pelayaran untuk kemakmuran rakyat, UU No. 10/92 tentang pembangunan keluarga sejahtera, UU No. 25/92 tentang pembangunan Koperasi, UU No. 7/92 tentang perbankkan yang sehat dan mitra ekonomi rakyat, UU No. 9/95 tentang usaha kecil, UU No. 7/96 tentang pangan, UU No. 19/2003 tentang BUMN [Badan Usaha Milik Negara], UU No. 38/2004 tentang pembangunan jalan sebagai tangungjawab Negara, UU No. 31/2004 tentang perikanan, UU No. 18/2004 tentang perkebunan, UU No. 7/2004 tentang sumber daya air milik Negara untuk rakyat, dll.

Selanjutnya untuk memahami keberadaan sistem Ekonomi Pancasila dapat ditengarai dengan menilik dari ciri pokoknya. Tetapi, ciri pokok ini masih menjadi perdebatan yang panjang di antara para ilmuwan. Perdebatan dan pendekatan pemahaman sistem ekonomi Pancasila mulai muncul dari berbagai disiplin ilmu. Misalnya, sosiologi, antropologi, sejarah, falsafati, hukum dan studi tata peran pelaku ekonomi.

Pendekatan-pendekatan struktural juga dapat menjelaskan bagaimana sistem Ekonomi Pancasila dipahami. Bappenas adalah representasi dari pendekatan struktural karena ia ditugaskan membuat konsep awal GBHN. Sedangkan berdiri dan berkembangnya secara pesat lembaga Koperasi dan BUMN sesungguhnya juga menjadi bukti bahwa sistem ekonomi Pancasila dapat didekati dari prespektif kelembagaan ekonomi. Dalam hal ini, Bung Hatta pernah menulis bahwa pembangunan ekonomi nasional terutama harus dilaksanakan dengan dua cara; Pertama, pembangunan yang besar-besar dikerjakan oleh pemerintah atau dipercayakan kepada badan-badan hukum yang tertentu di bawah penguasaan atau pengawasan pemerintah. Pedomannya mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kedua, pembangunan yang kecil-kecil dan sedang, dikerjakan oleh rakyat secara koperasi. Koperasi dapat berkembang berangsur-angsur dari kecil dan sedang menjadi besar, dari pertukangan atau kerajinan menjadi industri. Di antara medan yang dua ini, usaha pemerintah dan Koperasi sementara waktu masih luas medan usaha bagi inisiatif partikelir dengan bentuk perusahaan sendiri.

Selanjutnya, perdebatan ciri tersebut dapat dibaca lewat tulisan Emil Salim, Mubyarto dan Dawam Rahardjo. Menurut Emil Salim, ciri sistem Ekonomi Pancasila hanya empat. Yaitu:
1)        Adanya demokrasi ekonomi; produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dan di bawah  pimpinan atau penilikan anggota.
2)        Ciri kerakyatan; memperhatikan penderitaan rakyat.
3)        Kemanusiaan; tidakmemberi toleransi pada eksploitasi manusia.
4)        Religius; menerima nilai-nilai agama dalam hidupnya.

Sedang menurut Mubyarto, ekonomi Pancasila memiliki lima ciri, yaitu:
1)        Adanya rangsangan ekonomi, moral dan sosial.
2)        Kehendak kuat dari seluruh masyarakat ke arah keadaan kemerataan sosial sesuai asas kemanusiaan.
3)        Prioritas kebijakan ekonomi adalah penciptaan perekonomian nasional yang tangguh dan nasionalisme.
4)        Koperasi merupakan soko guru perekonomian dan merupakan bentuk paling kongkrit dari usaha bersama.
5)        Adanya imbangan yang jelas dan tegas antara perencanaan di tingkat nasional dan desentralisasi dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi untuk menjamin keadilan ekonomi dan sosial.

Dawam Rahardjo menengarai sistem ekonomi Pancasila dengan mengutip enam ciri positif dan tiga ciri negatif demokrasi ekonomi sebagaimana ada dalam Tap MPRS No. XXIII/1966.11 Keenamnya disusun dari, oleh dan demi rakyat luas bersama pemerintah secara sengaja dan dalam tempo sesingkatsingkatnya. Tentu saja pemerintah dan para politisi-negarawanlah sebagai pelaku utamanya.

Dari berbagai penelusuran dan pengalaman di lapangan maka kami memiliki pendapat bahwa, Sistem Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi yang mengandung nilai-nilai strategis budaya bangsa yaitu kekeluargaan dan kemandirian sebagai ciri strategis budaya bangsa. Karena itu cirinya adalah;
1)        Sistem Ekonomi Pancasila bertujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam sebuah sistem maka tujuan harus menjadi cirri utama dari gerak dan arah sistem tersebut. Untuk itu, penjelasan pasal 33 menyebutkan bahwa tujuan ekonomi Pancasila adalah kemakmuran masyarakat diutamakan, bukan orang per seorang.
2)        Keikutsertaan rakyat banyak dalam kepemilikan, proses produksi dan menikmati hasilnya. Kepemilikan menjadi sangat penting karena kemiskinan struktural telah begitu lama dirasakan oleh rakyat banyak. Dengan kepemilikan diharapkan agar bangsa kita tidak menjadi kuli tetapi menjadi tuan di negeri sendiri. Dengan kepemilikan tersebut, akan menimbulkan insentif dan motivasi sehingga mereka dapat memasuki proses produksi secara maksimal dan menguntungkan. Dengan memiliki aset dan alat produksi, diharapkan kesejahteraan akan meningkat dan martabat bangsa akan terjaga. Adapun dari aspek kelembagaannya, keikutsertaan rakyat dalam bentuk Koperasi, BUMN [pemilikan kolektif] dan Swasta.
3)        Menggunakan mekanisme pasar yang berkeadilan. Ini merupakan realisasi dari pasal 33 ayat 1&3. Dalam mekanisme ini ditentukan di mana peran negara dan di mana peran pasar. Karena itu, dalam mekanisme pasar berkeadilan, pertama-tama biarlah pasar berjalan seefektif mungkin dengan persaingan sehat. Apabila pasar mengalami kegagalan karena suatu kegiatan ekonomi tidak menguntungkan tetapi dibutuhkan rakyat atau ada sekelompok besar pelaku ekonomi yang tidak mampu bersaing dalam pasar karena terbatasnya sumber daya ekonomi yang dimilikinya, maka pemerintah berkewajiban melakukan peranan aktif untuk kepentingan rakyat banyak.
4)        Perencanaan strategis ekonomi nasional. Ini adalah tafsir dari bunyi pasal 33 UUD-45 ayat 1 yang mengatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Artinya, negara secara sadar menyusun perekonomian secara nasional untuk menghasilkan blue print ekonomi yang akan menjadi petunjuk arah dan pola kebijakan bagi penyelenggaraan serta alat ukur sekaligus jaminan bagi keikutsertaan seluruh rakyat dalam proses produksi bagi tercapainya kesejahteraan rakyat. Dalam perencanaan strategis ekonomi nasional tersebut akan ditetapkan distribusi sumberdaya alam yang dapat dilakukan hanya melalui mekanisme pasar yang sehat atau melalui mekanisme pasar yang diintervensi pemerintah karena kegagalan pasar. Proses perencanaan strategis tersebut dilaksanakan melalui pembahasan dan persetujuan bersama antara Pemerintah dan DPR. Selanjutnya persetujuan tersebut dikukuhkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Pada masa Orde Baru perencanaan tersebut tercantum pada Tap MPR tentang GBHN dan UU tentang RAPBN.
5)        Koperasi berperan utama di sektor ekonomi rakyat. Maksudnya adalah, koperasi harus menjadi satu-satunya solusi kelembagaan bagi usahausaha kecil yang berjumlah besar tetapi terbatas asetnya terutama di sector pertanian. Dengan demikian, fungsi dan peran Koperasi adalah menghimpun kekuatan ekonomi yang diproduksi rakyat banyak guna menjawab tantangan globalisasi dengan cara berusaha kolektif sehingga mampu meningkatkan proses produksi menjadi lebih produktif dan efesien serta dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Untuk itu, koperasi harus berperan utama di sector ekonomi rakyat di mana unit-unit ekonomi dan usaha kecil yang dimiliki rakyat banyak bekerja. Di samping itu, Koperasi sebagai jiwa dan semangat harus menjadi jiwa dan semangat BUMN dan Swasta. Bentuk-bentuk penerapannya adalah pembentukan koperasi karyawan dan pemilikan saham perusahaan oleh koperasi karyawan dan koperasi yang mengurusi ketentuan usaha.
6)        BUMN berperan utama dalam kegiatan-kegiatan ekonomi yang stretegis dan atau menguasai hajat hidup orang banyak. Ini adalah jawaban dari pasal 33[2] beserta penjelasannya yang meminta pemerintah untuk mendirikan perusahaan negara untuk dapat mengurus di bidang ekonomi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Hal ini karena jika bukan negara yang melakukannya, ditakutkan terjadinya penguasaan ekonomi oleh orang atau lembaga ekonomi yang menyengsarakan dan menindas rakyat. Dengan demikian, fungsi dan peranan utama dari BUMN adalah menjamin tersedianya kebutuhan ekonomi yang tidak diproduksi rakyat banyak tetapi hasilnya penting dan menyangkut hajat hidup orang banyak. BUMN juga harus melindungi rakyat banyak dari penguasaan yang menindas dari dalam maupun dari luar. Dengan cara pendirian dan penguatan BUMN maka pemerintah tidak perlu ikut dalam mekanisme pasar yang biasanya menjadikan distorsi. BUMNlah yang ditugasi pemerintah untuk terlibat secara sadar melindungi kepentingan ekonomi rakyat banyak tanpa harus mendistorsi pasar.
7)        Kemitraan yang setara antara Koperasi-BUMN-Swasta. Model kemitraan merupakan bentuk dari jawaban pasal 33 [1] tentang usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Dalam sejarahnya, usaha kecil rakyat kita tersebar sangat luas dan berjumlah sangat banyak [99% usaha kita adalah pengusaha mikro]. Usaha para pengusaha mikro di negara kita menjadi tidak visible dalam ekonomi modern, karena itu mereka harus kerjasama agar kuat, efektif dan efesien. Kerjasama mereka harus dimulai dari koperasi, kemudian Koperasi bekerjasama dengan BUMN untuk kegiatan ekonomi yang penting dan menguasai hidup orang banyak. Di luar kegiatan ekonomi tersebut, Koperasi dapat bekerjasama dengan Swasta. Kerjasama yang setara akan memberikan sinergi sehingga mampu menghasilkan capaian memuaskan bahkan berlebih daripada bila mereka berusaha sendiri-sendiri.12 Agar kesetaraan terjadi di antara ketiganya, pemerintah harus mengatur lewat undang-undang. Pokok-pokok kemitraan berisi kesepakatan untuk bersaing secara sehat, keterkaitan usaha dan kepemilikan saham.
8)        Perencanaan pemerintah. Ini merupakan tafsir dari pasal 33 ayat 3 yang berbunyi, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya bahwa distribusi sumberdaya alam dan seluruh kekayaan Negara dilaksanakan oleh pemerintah untuk menjamin kesejahteraan bersama. Berbagai perencanaan yang dilakukan negara adalah
·      melalui penegakan peraturan perundang-undangan. Diantaranya tentang undang-uandang persaingan sehat, hubungan kerja industrial, dan jaminan sosial.
·      melalui pelayanan masyarakat. Diantaranya pendirian rumahsakit dan sekolah.
·      melalui instrumen fiskal. Diantaranya penghapusan pajak, pemberian subsidi serta pembuatan prasarana dan sarana yang langsung berhubungan dengan rakyat seperti jalan dan irigasi. Ketiga, pembentukan dan penguatan BUMN.


Peran Pelaku Ekonomi

Setelah mencoba mengupayakan pengertian-pengertian sistem ekonomi yang bagaimana yang ingin kita bangun pada tataran filosofis, tantangan berikutnya adalah bagaimana mengoperasionalkannya.

Sesungguhnya dalam Undang-undang Dasar beberapa petunjuk ke arah itu telah ada dalam berbagai pasalnya. Pasal 23, 27 ayat (1), pasal 33 dan juga pasal 34 memberikan kepada kita petunjuk-petunjuk mengenai bagaimana konsep ekonomi harus dikembangkan berdasarkan Undang-undang Dasar.

Bahkan dalam pasal 33 ada penjelasan yang cukup rinci mengenai apa yang dikehendaki oleh Undang-undang Dasar, mengenai bagaimana ekonomi kita harus dikelola dan dikembangkan.

Tantangan bagi kita sekarang adalah bagaimana secara tepat kita menjabarkannya dalam konsep-konsep pembangunan.

Dalam upaya itu jelas tidak ada jalan yang lurus dan mulus. Kadang-kadang kita harus berbelok ke kiri, berbelok ke kanan, bahkan kadang-kadang harus mundur dulu sedikit kemudian maju lagi. Yang penting kita harus menjaga bahwa arahnya tetap konsisten, betapa pun dari saat ke saat kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan harus disesuaikan dengan situasi. Betapa pun juga kita telah menyatakan bahwa Pancasila adalah ideologi terbuka, yang terus berkembang mengikuti dinamik masyarakat. Namun, nilai-nilai dasarnya tidak pernah berubah. Oleh karena itu, UUD 1945 mengamanatkan bahwa dengan mengingat dinamik masyarakat, sekali dalam 5 tahun MPR memperhatikan segala yang terjadi dan segala aliran-aliran pada waktu itu serta menentukan haluan-haluan apa yang hendaknya dipakai untuk di kemudian hari. Petunjuk-petunjuk itu dituangkan dalam GBHN.

Upaya untuk menjabarkan amanat konstitusi sesuai dengan perkembangan situasi telah dilakukan sejak PJP I, GBHN demi GBHN, sampai GBHN 1993. Sekarang kita sedang dalam persiapan menyusun bahan-bahan untuk GBHN 1998.

Dalam tataran operasional, yang sangat diperlukan adalah konsep mengenai bagaimana peran para pelaku ekonomi dalam sistem ekonomi Pancasila, dalam menghadapi tantangantantangan besar di masa depan. Dua di antaranya sangat menonjol, yaitu (1) menghadapi ekonomi global dengan meningkatkan daya saing, dan (2) membangun semua potensi ekonomi di dalam negeri agar tumbuh kuat dan dapat turut menyumbang kepada kekuatan ekonomi nasional.

Pelaku ekonomi dimaksudkan terdiri dari masyarakat sebagai produsen barang dan jasa atau disebut juga sebagai dunia usaha, masyarakat sebagai konsumen dan pemerintah yang mengatur bekerjanya berbagai institusi ekonomi.

Dalam sistem ekonomi kita dikenal adanya 3 bentuk usaha atau bangun usaha, yaitu usaha negara, koperasi, dan usaha swasta. Bagaimana masing-masing berperan, memang merupakan topik pembahasan dan perdebatan yang telah banyak dilakukan sejak kita kembali ke Undang-undang Dasar (UUD) 1945 di tahun 1959. Berbagai usaha telah dilakukan untuk menafsirkan amanat UUD 1945 dalam pasal 33. Bahkan ada di antaranya yang kemudian kita anggap tidak sejalan dengan jiwa dan semangat UUD 1945 itu, seperti sistem ekonomi terpimpin.

Dalam masa Orde Baru hingga sekarang usaha untuk mewujudkan amanat UUD itu terus berlanjut.

Salah satu contoh, pada tahun 1990, ISEI dalam kongres ke XI telah mengupayakan untuk menjabarkan bagaimana peran para pelaku ekonomi dalam sistem ekonomi yang ingin kita tegakkan.

Menurut ISEI, di dalam sistem ekonomi yang berlandaskan Demokrasi Ekonomi, usaha negara, koperasi, dan usaha swasta dapat bergerak di dalam semua bidang usaha sesuai dengan peranan dan hakikatnya masing-masing. Dalam konsep itu, usaha negara berperan sebagai: (a) perintis di dalam penyediaan barang dan jasa di bidang-bidang produksi yang belum cukup atau kurang merangsang prakarsa dan minat pengusaha swasta; (b) pengelola dan pengusaha di bidang-bidang produksi yang penting bagi negara; (c) pengelola dan pengusaha di bidang-bidang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak; (d) imbangan bagi kekuatan pasar pengusaha swasta; (e) pelengkap penyediaan barang dan jasa yang belum cukup disediakan oleh swasta dan koperasi, dan (f) penunjang pelaksanaan kebijaksanaan negara.

Selanjutnya koperasi sebagai salah satu bentuk badan usaha yang sesuai dengan ketentuan Undang-undang Dasar 1945, diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berperan sesuai dengan hakikatnya sebagai kesatuan ekonomi yang berwatak sosial. Sedangkan usaha swasta diberi peranan yang sebesar-besarnya di dalam bidang-bidang di mana persaingan dan kerja sama berdasarkan motivasi memperoleh laba memberikan hasil terbaik bagi masyarakat diukur dengan jenis, jumlah, mutu dan harga barang dan jasa yang dapat disediakan.

Dengan mengambil pandangan-pandangan ISEI itu, saya ingin menunjukkan betapa para pakar kita telah berupaya untuk menjabarkan lebih lanjut pemikiran-pemikiran dasar kita itu. Berbagai usaha tersebut harus kita lanjutkan. Kita perlu lebih memperdalam lagi rumusan tentang peran negara, koperasi dan usaha swasta dalam sistem ekonomi Pancasila tersebut.

Mengingat masyarakat kita terus berkembang dan kita hidup sebagai bagian dari masyarakat dunia yang terus berkembang pula, konsep-konsep itu haruslah tidak kaku dan statis, tetapi luwes dan lentur, serta memungkinkan berkembang sesuai dengan dinamika perubahan yang terus menerus terjadi. Namun, hal-hal yang mendasar seperti nilai-nilai utama yang tadi telah saya kemukakan tidak perlu bahkan tidak seyogyanya berubah.

Salah satu tantangan kita sekarang adalah bagaimana membangun usaha swasta agar dapat memotori mesin ekonomi kita dalam memasuki era perdagangan bebas. Bagaimana kita membantu usaha swasta kita untuk terus menerus meningkatkan dan memelihara daya saing. Daya saing swasta kita merupakan komponen penting dalam daya saing nasional.

Untuk meningkatkan daya saing perlu ditingkatkan efisiensi dan produktivitas sumber daya yang kita miliki. Ini harus menjadi agenda nasional bangsa kita.

Selanjutnya, perlu pula dipikirkan bagaimana kita memperbaiki struktur dunia usaha kita yang masih timpang, agar lebih kukuh dan seimbang; yakni struktur dunia usaha di mana usaha besar, menengah dan kecil saling bersinergi dan saling memperkuat dengan lapisan usaha menengah sebagai tulang punggungnya. Persoalan kita bukan ukurannya besar atau kecil, tetapi daya tahan dan daya saingnya. Yang besar tetapi lemah tidak ada manfaatnya, yang kecil tetapi kuat justru merupakan unsur yang penting terhadap keseluruhan sistem ekonomi kita. Oleh karena itu, agenda pembangunan kita bukan mempertentangkan yang besar dengan yang kecil, tetapi membangun semua potensi yang kita miliki.

Dalam proses itu yang besar dan kecil harus bekerja sama, bermitra, untuk bersama-sama saling dukung dan saling memperkuat. Kita harus ingat pesan Undang-undang Dasar mengenai asas kekeluargaan dalam menyelenggarakan ekonomi.

Konsumen adalah juga pelaku ekonomi. Kita menghendaki agar perilaku konsumen Indonesia memperkuat upaya kita untuk membangun wujud masyarakat yang kita harapkan, yaitu yang maju, mandiri, sejahtera, dan berkeadilan.

Pertama, konsumen diharapkan memberi penghargaan dan mengutamakan penggunaan produk hasil bangsanya sendiri. Hal ini sering dikatakan sebagai cermin nasionalisme baru. Sikap mendahulukan penggunaan produksi dalam negeri, tidak bertentangan dengan perjanjian. perjanjian perdagangan internasional, karena bersangkutan dengan pilihan yang bebas dan bukan karena paksaan atau dibatasinya pilihan atau hak untuk memilih. Sikap serupa itu justru akan menjamin pertumbuhan kemampuan produksi nasional secara berkesinambungan. Pada gilirannya akan mendorong proses kemandirian bangsa.

Kedua, konsumen Indonesia harus memperhatikan nilai-nilai kepatutan menurut agama dan budaya masyarakat.

Pola konsumsi yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya masyarakat, jelas tidak sesuai dengan semangat tenggang rasa dan saling menghormati keyakinan, dan dapat menimbulkan suasana permusuhan dan pertentangan, sehingga melemahkan keutuhan bangsa.

Ketiga, konsumen Indonesia harus memperhatikan pula taraf hidup masyarakat di sekitarnya. Pola konsumsi yang berlebihan, yang mewah di atas kewajaran, apalagi di tengah masyarakat yang miskin, akan menyebabkan kecemburuan sosial dan mempertajam kesenjangan. Akibatnya mudah sekali terjadi konflik-konflik sosial. Konflik-konflik sosial lebih mudah muncul ke permukaan oleh karena tidak adanya rasa solidaritas, sebagai akibat menyoloknya perbedaan gaya hidup.

Oleh karena itu, pada waktu kita berbicara mengenai pengembangan jatidiri para pelaku ekonomi, kita tidak hanya berbicara mengenai masyarakat sebagai pelaku ekonomi produsen tetapi juga sebagai pelaku ekonomi konsumen.

Peran pemerintah jelaslah tidak kecil. Saya berpendapat bahwa pemerintah harus mengemban tiga peran sekaligus.

Pertama, dalam upaya pemerataan dan membangun keadilan pemerintah harus berada di depan, Ing Ngarso Sung tulodo. Upaya mengentaskan penduduk dari kemiskinan, memeratakan pembangunan antardaerah, menghilangkan kesenjangan, haruslah menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah harus memeloporinya. Dalam upaya membangun rasa adil dan menciptakan rasa aman dan rasa tenteram dalam masyarakat, pemerintah harus berada di depan, menunjukkan jalan dan memberi keteladanan. Pemerintah harus memelopori terbentuknya institusi sosial dan ekonomi yang mendorong berkembangnya potensi ekonomi dan berperannya secara optimal pelaku-pelaku ekonomi masyarakat.

Kedua, dalam berbagai upaya pembangunan pemerintah harus bekerja bersama masyarakat dan menggerakkan kegiatan pembangunan oleh masyarakat.

Pemerintah harus Ing Madyo Mangun Karso. Dalam berbagai usaha produksi di mana masyarakat belum sepenuhnya mampu tanpa ditopang oleh pemerintah, pemerintah harus mendukungnya. Misalnya, membangun prasarana untuk mendorong kegiatan investasi masyarakat. Pemerintah membangun jalan, tenaga listrik, irigasi, untuk mendorong kegiatan ekonomi masyarakat. Bahkan mungkin masih harus mengelola prasarana tersebut agar dapat terus ber fungsi untuk mendukung kegiatan ekonomi masyarakat.

Ketiga, dalam hal masyarakat sendiri sudah sepenuhnya dapat berperan, maka peran pemerintah adalah Tut Wuri Handayani. Itulah yang dimaksudkan pada waktu kita mengatakan bahwa dalam konsep pembangunan kita masyarakat adalah pelaku utama pembangunan dan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang. Misalnya, dalam kegiatan mendorong ekspor, yang dilakukan oleh dunia usaha kita, atau mendorong pariwisata. Apabila hambatan-hambatan yang disebabkan baik oleh peraturan dari pemerintah sendiri ataupun hambatan lainnya dapat ditiadakan, sudah akan sangat menolong. Apalagi kalau ditopang oleh peraturan-peraturan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang menunjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar