A. SEJARAH KOTA DAN TRANSPORTASI SURABAYA
Nama Surabaya muncul sejak awal pertumbuhan kerajaan Majapahit. Nama Surabaya diambil dari simbol ikan Sura dan Buaya. Simbol itu sesungguhnya untuk menggambarkan peristiwa heroik yang terjadi di kawasan Ujung Galuh (nama daerah Surabaya di masa silam), yakni pertempuran antara tentara yang dipimpin Raden Widjaja dengan pasukan tentara Tar Tar pada tanggal 31 Mei 1293. Tanggal itulah yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya Kota Surabaya.
Awalnya Surabaya adalah kawasan perkampungan atau pedesaan di pinggiran sungai. Nama-nama kampung yang kini masih ada seperti Kaliasin, Kaliwaron, Kalidami, Ketabangkali, Kalikepiting, Darmokali, dan sebagainya adalah bukti yang menjelaskan bahwa kawasan Surabaya adalah kawasan yang memiliki banyak aliran air / sungai. Secara geografis ini sangat masuk akal, karena memang kawasan Surabaya merupakan kawasan yang berada di dekat laut dan aliran sungai besar (Brantas, dengan anak kalinya).
Lokasi Surabaya yang berada di pinggir pantai, merupakan wilayah yang menjadi lintasan hilir mudik manusia dari berbagai wilayah. Surabaya, menjadi pertemuan antara orang pedalaman pulau Jawa dengan orang dari luar. Pada tahun 1612 Surabaya sudah merupakan bandar perdagangan yang ramai. Peranan Surabaya sebagai kota pelabuhan sangat penting sejak lama. Saat itu sungai Kalimas merupakan sungai yang dipenuhi perahu-perahu yang berlayar menuju pelosok Surabaya.
Banyak pedagang Portugis membeli rempah-rempah dari pedagang pribumi. Di bawah kekuasaan Trunojoyo, Surabaya menjadi pelabuhan transit dan tempat penimbunan barang-barang dari daerah subur, yaitu delta Brantas. Sementara, Kalimas menjadi “sungai emas” yang membawa barang-barang berharga dari pedalaman.
Kota Surabaya juga sangat berkaitan dengan revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Sejak penjajahan Belanda maupun Jepang, rakyat Surabaya (Arek Suroboyo) bertempur habis-habisan untuk merebut kemerdekaan. Puncaknya pada tanggal 10 Nopember 1945, Arek Suroboyo berhasil menduduki Hotel Oranye (sekarang Hotel Mojopahit) yang saat itu menjadi simbol kolonialisme. Karena kegigihannya itu, maka setiap Tanggal 10 Nopember, Indonesia memperingatinya sebagai Hari Pahlawan. Hingga saat ini bekas-bekas masa penjajahan terlihat dengan masih cukup banyaknya bangunan kuno bersejarah di sini.
Membicarakan transportasi di Kota Surabaya pada zaman Hindia Belanda (1800-1942) sesungguhnya juga mengungkapkan perkembangan kota ini tatkala menapaki perubahan dari kota tradisional menjadi kota modern. Namun demikian perlu disadari bahwa pengadaan transportasi modern oleh pemerintah kolonial Belanda itu bukanlah satu-satunya sebagai faktor determinat yang menyebabkan perkembangan kota Surabaya, melainkan peristiwa tersebut tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sejarah perekonomian di Indonesia pada umumnya dan di Jawa Timur utamanya yang saat itu pihak pemerintah kolonial Belanda tengah menikmati masa keemasan setelah dilaksanakannya kultuur stelsel (1830-1870) dan Opendeur Policy (1871- dstnya). Faktor eksternalnya ialah pada periode yang sama terjadinya revolusi industri yang di Eropa mencapai klimaksnya pada pertengahan abad XIX. Apabila di Eropa dan Amerika Serikat kejadian itu ditandai dengan proses industrialisasi besar-besaran dengan imperialisme modern sebagai puncak.
Dalam konteks perkembangan itulah tanah jajahan berfungsi sebagai pasar produk-produk industri, sumber bahan mentah, dan tempat penanaman modal. Dalam kerangka itulah kemudian dilakukan modernisasi di Hindia Belanda sebagai tanah jajahan Belanda, kemudian pihak negeri induk juga melakukan relokasi industri baik secara teknologis, komersial- kapital maupun pemasaran. Dengan demikian Indonesia menjadi terlibat langsung dalam proses produksi dunia.
Di Hindia Belanda yang kemudian menjadi Indonesia perkembangan itu ditandai dengan dibukanya perkebunan-perkebunan besar yang modern (plantation) seperti kebun/pabrik gula khususnya di Jawa Timur; perkebunan tanaman keras, kopi, teh, cokelat, kina di Jawa Timur dan Jawa Barat, karet di Sumatra; pertambangan minyak di Jawa, Sumatra, Kalimantan, Irian Barat; timah di Bangka-Belitung, dan lain-lainnya. Khusus bagi perkebunan dan pabrik-pabrik besar maka untuk mengangkut produk-produknya sarana transportasi tradisional yang ada saat itu seperti gerobak (Jw.cikar), sado, kuda beban, perahu layar, sampan, tongkang dll. menjadi tidak memadai lagi. Bertepatan dengan itu di Eropah juga menapaki fase-fase akhir revolusi industri. Dengan sendirinya untuk kepentingan pengangkutan kekayaan dari tanah jajahan ke negeri induk atau ke negeri-negeri tujuan ekspor/impor kemudian terjadilah transfer of technology. Dalam hal ini selain Belanda membangun teknologi agroindustri juga untuk kepentingan agronomi perlu diselenggarakan sarana-prasarananya yaitu transportasi. Dalam perkembangan selanjutnya perkembangan teknologi transportasi itu juga membawa dampak lain di bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya dalam perjalanan sejarah Indonesia.
Untuk lebih memahami bagaimana perkembangan transportasi di Surabaya pada masa Hindia Belanda (1800-1942) di bawah ini dijelaskan secara singkat perkembangan kota Surabaya terutama yang berkaitan dengan penyelenggaran sarana perhubungannya.
Munculnya Surabaya Dalam Sejarah
Nama Surabaya secara eksplisit muncul pada prasasti Trowulan II yang juga dikenal sebagai ferry charter (1358). Disebut sebagai ferry charter atau piagam penambangan karena di dalam prasasti itu nama Surabaya muncul nama-nama tua lain di Surabaya seperti Bukul, Gesang, Cangkir dan 40 desa penambangan naditira pradeca lain di sepanjang muara Brantas (16 desa) dan di sepanjang aliran Bengawan Solo (40 desa), antara lain Widang, Plumpang dan Semanggi (Solo). Drs. Heru Sukadri K. di dalam karyanya Dari Hujunggaluh ke Curabhaya menyatakan kata Surabaya yang berarti atau terdiri dari ikan Sura dan Baya (buaya) merupakan pemitosan dari pertempuran bersejarah antara pasukan R. Wijaya dan dengan pasukan Cina yang dipimpin oleh Ikimese, Shih Pi dan Kau Hsing yang berakhir dengan kekalahan Cina pada 31 Mei 1293.
Adanya piagam di atas membuktikan bahwa Surabaya secara geografis, selain terletak di muara Brantas juga sebagai delta dengan banyak anak sungai atau kali. Misalnya: kali Greges, kali Butuh, kali Anak, kali Krembangan, kali Mas, kali Pegirian, kali Anda, kali Palaca, kali Bokor, kali Pacekan dengan kedung-kedungnya (Ind. palung) antara lain kedung Tarukan, kedung Sari, kedung Doro, kedung Rukem, kedung Sroko, kedung Cowek, kedung Baruk, kedung Asem, kedung Turi, dll. Kenyataan itu menunjukkan bahwa masalah transportasi merupakan kebutuhan masyarakat yang sangat vital sehubungan dengan kondisi geografis kota sehingga memerlukan perhatian kerajaan atau negara sebagaimana tercantum di dalam prasasti bertarikh 1358 itu.
Berdasarkan toponimi pasar-pasar tradisional di Surabaya mulai dari hulu Brantas sampai muaranya seperti pasar-pasar: Sepanjang, Kedurus, Wonokromo, Keputran, Genteng, Pasar Gede (Pasar Besar), Pabean, Petekan maka jelaslah bahwa sungai, dalam hal ini Sungai Brantas merupakan sarana perhubungan sangat vital di Surabaya.
Perkembangan Kota Surabaya Pada Zaman Kolonial
Apabila secara topografis lokasi pantai karena sedimentasinya tinggi hingga garis pantai Surabaya terus-menerus mengalami pergeseran ke utara. Garis pantai itu pada abad IX Dadungan, Banyuurip maka pada abad XIV garis pantai itu telah bergeser ke utara dari Asemrawa, Tanjung Anom, Genteng, Sima, dan pada abad XV telah mencapai Nyamplungan-Sukodono. Berlawanan dengan perkembangan topografis maka perkembangan kota secara sosial, budaya dan ekonomi justru mulai dari arah utara.
Pemberitaan tentang keberadaan Surabaya memang telah muncul pada abad XIV baik pada prasasti Trawulan I maupun di dalam Nagarakrtagama (1365).Bila demikian Surabaya yang mendapat sima itu berada di muara atau delta yang berada di sebelah barat Genteng, garis pantai abad XIV. Akan tetapi bagaimana deskripsi Surabaya belum ada. Berdasarkan sumber-sumber tradisional babad pada awal abad XV Surabaya menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa dengan di bawah pimpinan Raden Rahmat yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Ampel. Saat itu Ampel merupakan lokasi berada di pantai atau delta Kali Surabaya (Kali Mas) dan Kali Pegirian. Kita harus kecewa karena deksripsi Surabaya sebagai suatu kota belum kita jumpai. Deskripsi sederhana kemudian tercantum di dalam laporan Ying Yhai Seng Lan (Pelayaran di Laut Selatan) yang ditulis oleh Ma Huan, sekretaris Laksamana Cheng Ho. Bersama-sama dengan Gresik, Surabaya merupakan kota pelabuhan (sungai) yang sebagian besar penduduknya adalah orang Cina berjumlah sekitar 7.000 jiwa. Waktu itu yang menjadi pusat bisnis/perdagangan Surabaya (central district bisniss) ialah Pasar Pabean, Jl. Panggung dan Jl. Karet yang pada zaman Belanda disebut sebagai Chinesche voorstraat.
Berdasarkan deskripsi dari peta kuno Surabaya pada abad XVI-XVII Surabaya telah menjadi kota dagang dan pelabuhan sungai yang menyaingi Gresik. Di Surabaya juga bermukim berbagai kelompok etnis yang bermukim di sepanjang muara Brantas. Etinisitas mereka kemudian juga digunakan sebagai nama kampung pemukimannya seperti : kampung Arab (Apel), Melayu (selatannya), Cina (bagian barat dan selatan), kemudian Belanda (di Rode Brug) atau Jembatan Merah.
Dalam Perang Trunajaya (1677-1680) Surabaya merupakan pangkalan dengan benteng pertahanannya di sepanjang Kali Pegirian. Trunajaya menempati Surabaya mulai Oktober 1666 sampai armada Belanda di bawah Laksamana Cornelis Speelman berhasil merebutnya hingga Pangeran dari Madura itu terpaksa menyingkir ke Kediri.
Pemberitaan Surabaya selanjutnya diperoleh dari Francois Valentijn yang di sekitar tahun 1706 mengunjungi Surabaya. Ia di dalam karyanya Oud en Nieuw in Oost Indie Deel IV mengatakan bahwa keraton Surabaya berada di tepi sungai dengan jalannya yang lebar dan indah.
Di dalam Babad Tanah Djawi juga diberitakan pada tahun 1718-1722 terjadi Perang Surabaya antara penguasa Surabaya R. Adipati Jayapuspita, adik Jayengrana melawan Mataram dan VOC. Dalam perang ini Jayapuspita bersekutu dengan Pangeran Herucakra atau Pangeran Dipanagara senior (Jw. sepuh) putera Pakubuwana I, Adipati Cakraningrat III dari Madura dan Dewa Ktut dari Bali. Setelah tentara Surabaya dikalahkan dalam pertempuran di Kapasan yang disebut-sebut sebagai pertempuran terbesar yang terjadi sesudah zaman Majapahit, Jayapuspita mengundurkan diri dari keraton, ke Lawang Seketheng di Peneleh, Praban dan Keputran. Pada 1722 pertahanan Jayapuspita juga jatuh ke tangan VOC dan ia terpaksa mundur ke Japan (Mojokerto) sampai ia wafat di sekitar 1724 karena tua.
Berdasarkan perjanjian Mataram-VOC tahun 1743 seluruh wilayah pesisir utara Jawa jatuh ke tangan Belanda, termasuk Surabaya. VOC kemudian mendirikan pusat pemerintahannya di kota benteng Jembatan Merah atau Rode Brug sebagai pemukiman khusus Belanda. Komunitas Cina yang semula berpusat di sepanjang Jl. Panggung dan Jl. Karet (Chinesche voorstraat) sebagai CDB kemudian memperluas pemukimannya di Kembang Jepun, yang jalannya dihubungkan dengan Rode Brug. Pada tahun 1796 penguasa VOC (gezaghebber) di Surabaya Dik van Hogendorp mendirikan kediaman di Simpang dengan menghadap ke Kali Mas sebagai Residence Wooning (kediaman Residen) yang kemudian dikenal sebagai gedung Grahadi. Taman gedung ini (tuinhuis) terletak di belakang kemudian dikenal sebagai Taman Apsari. Gedokan kudanyas kemudian dimanfaatkan sebagai SDN Kaliasin III,dan gudangnya kemudian menjadi gedung Kantor Pos Simpang.
Selama kultuur stelsel Surabaya tidak banyak mengalami perkembangan, justru pada era sesudahnya yaitu era opendeur policy (1871) Surabaya mengalami perkembangan pesat. Pada masa ini tampaknya disusun blue print pembangunan Kota Surabaya dengan pengerasan berbagai jaringan jalan raya, pembangunan jaringan jalan kereta api yang menghubungkan Surabaya dengan berbagai penjuru kota, pendirian pemukiman baru yang elitis khusus untuk orang Eropa khususnya Belanda seperti Ketabang, Tegalsari dan Darmo dengan berbagai fasilitasnya seperti stasiun, pelabuhan, lapangan terbang dan pangkalan udara, rumah sakit, gedung sekolah dan perkantoran-perkantoran, dan bank. Wilayah Kota Surabaya di selatan mencapai pelintasan kereta api di Wonokromo, di barat dibatasi Reinir Boulevard, Pasaar Kembang Boulevard, Ardjuno Boulevard, Pasarturi straat, Tandjung Perak straat, sedang di sebelah timur dibatasi oleh rel KA mulai dari Wonokromo, Gubeng dan Sidotopo.
Jalur-jalur jalan raya terpenting yang kemudian juga menjadi urat nadi lalu lintas atau transportasi di Surabaya pada masa-masa akhir kolonial Hindia Belanda sebagai berikut.
1. Jalur jalan raya yang membujur dari utara - selatan bagian timur yaitu : Jl. Wonokromo, Jl. Ngagel, Gubeng, Signal straat, Kapasari straat, Sidotopo straat.
2. Jalur jalan raya dari arah utara-selatan bagian tengah barat : Wonokromo, Darmo Boulevard, Palmenlaan - Kaliasin straat, Embong Malang, Bubutan, Oost-West Buitenweg, Tanjung Perak straat.
3. Jalur dari utara-selatan tengah timur : Wonokromo, Darmo, Palem laan, Simpang straat, Tunjungan, Gamblongan , Kramatgantung/Baliwert, Societet straat, Heeren straat, Tandjung Perak straat.
4. Jalur dari utara - selatan bagian barat : Wonokromo, Reinierz Boulevard, Pasarkembang, Ardjuno, Pasar Turi, Oosten Buitenweg, Heeren straat, dan Tandjung Perak straat.
Jalur yang membujur dari arah timur-barat Surabaya antara lain sebagai berikut
1. Jalur Kenjeran, Kapasan, Kebang Jepun, Heerens straat, dan Tandjung Perak.
2. Ngaglik, Kalianyar, Pasar Besar straat, Tembaan straat, Maspati, Pasar Turi
3. Pacarkeling, Ambengan weg, Plampitan weg/Gentengkali, Praban straat, Kranggan straat, Tembokdukuh straat, dan Sawahan straat.
4. Gubeng Bagong, Gubeng straat, Simpang straat, Embong Malang, Princess laan, Tidar straat, dan Pacuankuda.
5. Keputran, Tamarin de laan (Pandegiling), Pasarkembang, Banyuurip.
Suatu pusat kota (Down Town) yang kemudian muncul dalam era pemekaran fisik dan kondisi sosial, ekonomi, budaya di Surabaya yaitu kawasan Tundjungan straat sebagai jantung kehidupan ekonomi di Surabaya pada pertengahan pertaa abad XX. Tidak boleh dilupakan juga munculnya kawasan industri yang membentang sejajar dengan jalur kereta api serta Kali Brantas/Mas sebagai kawasan industri terbentang dari stasiun Wonokromo, Gubeng, Surabaya kota dan Tanjung Perak/Ujung. Inilah perkembangan fisik kota Surabaya sampai berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda pada tahun 1942.
Di dalam konteks perkembangan berbagai fasilitas perkotaan di Surabaya itulah kemudian ditulis kembali bagaimana perkembangan transportasi di Surabaya yang menggeliat maju dari kota tradisional menuju kota modern.
B. PERKEMBANGAN TRANSPORTASI
Lalu Lintas Kota Surabaya
Kota surabaya yang berkembang menjadi kota dagang dan jasa mensyaratkan tersedianya kemudahan dan kecepatan akses, terutama di bidang sarana prasarana transportasi. Karenanya, selain menjadi kota transit, Surabaya juga menjadi tujuan bisnis.
Surabaya memiliki luas wilayah administratif yang cukup besar, lebih kurang 32,6 hektar. Sebagai kota dagang dan jasa menjadikan aktifitas warganya sangat membutuhkan akses yang cepat, terutama transportasi. Namun, kebutuhan warga di kota surabaya demikian telah terpenuhi oleh sarana prasarana kota yang memadai.
Untuk menjangkau seluruh sudut kota, warga kota tak perlu kuatir karena Kota Surabaya memiliki kelengkapan sarana dan prasarana transportasi yang memadai. Kota Surabaya memiliki infrastruktur transportasi darat, laut, dan udara yang mampu melayani perjalanan lokal, regional, maupun internasional.
Bandara Juanda melayani penerbangan domestik maupun internasional. Bandara Juanda telah menjadi bandara internasional yang menjadi nadi transportasi udara kebanggaan kota ini. Bandara Juanda menjadi lalu lintas berbagai maskapai yang beroperasi di Indonesia. Baik maskapai yang melakukan penerbangan dari dan ke kota-kota di seluruh Indonesia, maupun maskapai penerbangan ke luar negeri.
Tempat-tempat reservasi pun tersedia di berbagai tempat sehingga memudahkan warga kota yang mau melakukan perjalanan jalur udara.
Angkutan Kota
Transportasi kota yang juga selalu siap mengantar warga kota hingga ke tujuannya
antara lain bus kota, angkutan kota (angkot), angguna (angkutan serba guna), bahkan becak. Angkutan kota dan angguna merupakan transportasi publik yang paling banyak dijumpai karena paling ekonomis dan rute yang dilalui cukup banyak (57 rute) serta bisa mencapai ke jalan-jalan yang kecil.
antara lain bus kota, angkutan kota (angkot), angguna (angkutan serba guna), bahkan becak. Angkutan kota dan angguna merupakan transportasi publik yang paling banyak dijumpai karena paling ekonomis dan rute yang dilalui cukup banyak (57 rute) serta bisa mencapai ke jalan-jalan yang kecil.
Bus kota (patas dan ekonomi) yang melayani transportasi publik kota surabaya memiliki 19 rute pada jalan-jalan utama dan di dukung oleh terminal-terminal yang representatif antara lain :
· Terminal Purabaya
Meskipun lokasi Terminal Purabaya berada di Bungurasih Kabupaten Sidoarjo, namun pengelolaannya oleh Dinas Perhubungan Kota Surabaya. Dalam skala kota Surabaya, letak terminal Purabaya berada di sisi Selatan kota Surabaya. Terminal Purabaya merupakan terminal tipe A dengan luas lahan 120.000 m2 , melayani angkutan Antar Kota Antar Propinsi (AKAP), Angkutan Antar Kota Dalam Propinsi (AKDP), dan Angkutan Kota. Jaringan trayek angkutan kota yang dilayani Terminal Purabaya adalah bus kota.
· Terminal Tambak Oso Wilangun
Lokasi terminal ini terletak di sebelah Barat Laut Surabaya, berada dekat dengan perbatasan Kabupaten Gresik. Terminal Tambak Oso Wilangun merupakan terminal
tipe A, dengan luas lahan 50.000 m2 . Jaringan trayek angkutan kota yang dilayani Terminal Tambak Oso Wilangun adalah bus kota dan angkutan.
tipe A, dengan luas lahan 50.000 m2 . Jaringan trayek angkutan kota yang dilayani Terminal Tambak Oso Wilangun adalah bus kota dan angkutan.
· Terminal Joyoboyo
Lokasi terminal ini terletak di sebelah selatan. Terminal Joyoboyo merupakan terminal tipe B dengan luas lahan 11.134 m2 , dimana melayani angkutan Antar Kota Dalam Propinsi (AKDP), dan angkutan kota. Jaringan trayek angkutan kota yang dilayani Terminal Joyoboyo ini yakni bus kota, dan angkutan kota.
· Terminal Bratang
Lokasi terminal ini terletak di sebelah timur. Terminal Bratang merupakan terminal tipe C dengan luas lahan 2.575 m2 , melayani angkutan kota saja. Jaringan trayek angkutan kota yang dilayani Terminal Bratang ini yakni bus kota dan angkutan kota.
· Sub Terminal
Sub-sub terminal yang dikelola oleh Pemerintah Kota antara lain yaitu :
-Sub Terminal Menanggal
-Sub Terminal Benowo
-Sub Terminal Petekan
-Sub Terminal Manukan Kulon
-Sub Terminal Darmo Permai
-Pangkalan Angkutan Kota
Selain terminal dan sub terminal, fasilitas transportasi kota yang klasifikasinya lebih kecil yaitu pangkalan angkutan kota yang pada umumnya dikelola oleh ”Paguyuban” angkutan kota. Lokasi pangkalan angkot ini biasanya merupakan simpul akhir trayek angkot dari terminal. Untuk pelayanan penumpang di sepanjang
rute, tersedia fasilitas tempat pemberhentian berupa Halte atau Shelter, dan berupa Rambu (tanpa ada bangunan). Jumlah Halte atau Shelter sekitar 53 buah, sedangkan rambu sejumlah 29 buah.
rute, tersedia fasilitas tempat pemberhentian berupa Halte atau Shelter, dan berupa Rambu (tanpa ada bangunan). Jumlah Halte atau Shelter sekitar 53 buah, sedangkan rambu sejumlah 29 buah.
RUTE BIS KOTA
Kode | Rute |
C | Purabaya - Darmo - Indrapura – Demak |
E | Purabaya - Damo - Tambak Oso Wilangun |
E1 | Purabaya - Joyoboyo |
F | Purabaya - Kupang - Raden Saleh - Indrapura - Tambak Oso Wilangun |
L | Ujung Baru - Rajawali - Tambak Oso Wilangun |
P1 | Purabaya - Darmo - Indrapura - Perak / Patas |
P2 | Purabaya - Darmo - Indrapura - Tambak Oso Wilangun / Patas |
P3 | Sidoarjo - Dupak - Rajawali - Semut Patas |
P4 | Purabaya - Dupak - Perak / Patas |
P6 | Purabaya - Tambak Oso Wilangun / Patas |
P7 | Purabaya - Dupak - Tambak Oso Wilangun / Patas |
P8 | Purabaya - Dupak - Tambak Oso Wilangun / Patas |
KAMAL | Kamal - Bangkalan - Burneh |
CAD | Cadangan |
JND | Juanda – Bungurasih / Mini AC |
PAC 1 | Purabaya - Darmo - Indrapura - Perak / Patas AC |
PAC 2 | Purabaya - Darmo - Indrapura - Tambak Oso Wilangun / Patas AC |
PAC 4 | Purabaya - Dupak - Perak / Patas AC |
PAC 8 | Purabaya - Dupak - Tambak Oso Wilangun / Patas AC |
RUTE MPU/MIKROLET
Kode | Rute |
C | Pasar Loak - Sedayu - Karang Menjangan PP |
D | Joyoboyo - Pasar Turi - Sidorame PP |
E | Petojo - Tanjungsari - Balongsari PP |
F | Joyoboyo - Pegirian - Endrosono PP |
G | Joyoboyo - Karang Menjangan / Lakarsantri / Karang Pilang PP |
H2 | Pasar Wonokromo - Pagesangan PP |
H2P | Pasar Wonokromo - Terminal Menanggal PP |
I | Kupang - Benowo PP |
K | Ujung Baru - Kalimas Barat / Pasar Loak PP |
L2 | Ujung Baru - Sasak - Petojo PP |
M | Joyoboyo - Dinoyo - Kayun - Kalimas Barat PP |
N | Kalimas Barat - Menur - Bratang PP |
O | Tambak Wedi - Petojo - Keputih PP |
O1 | Kalimas Barat - Keputih PP |
O2 (WK) | Tambak Oso Wilangun (Depan SPBU) - Petojo PP / Tambak Wedi - Keputih - Bratang PP |
P | Joyoboyo - Gebang Putih - Kenjeran / Petojo - Ketintang / Joyoboyo - Karang Menjangan - Kenjeran PP |
Q | Kalimas Barat - Bratang PP |
R | Kalimas Barat - Kapasan - Kenjeran PP |
S | Joyoboyo - Bratang - Kenjeran PP |
T1 | Margorejo - Joyoboyo - Sawahan - Pasar Loak PP |
T2 | Joyoboyo - Mulyosari - Kenjeran PP |
U | Joyoboyo - Rungkut - Wonorejo / Joyobekti PP |
V | Joyoboyo - Tambakrejo PP |
W | Dukuh Kupang - Kapas Krampung - Kenjeran PP |
Y | Joyoboyo - Demak PP |
Z | Kalimas Barat - Benowo PP |
TV | Joyoboyo - Citra Raya / Manukan Kulon / Banjar Sugihan |
DP | Kalimas Barat / Petekan - Manukan Kulon PP |
Z1 | Benowo - Ujung Baru PP |
J | Joyoboyo - Kalianak PP |
BK | Bangkingan - Karang Pilang PP |
DA | Kalimas Barat - Citra Raya |
JTK | Joyoboyo - Tambak Klanggri PP |
JTK2 | Joyoboyo - Medokan Ayu PP |
R1 | Kalimas Barat - Nambangan - Kenjeran PP |
WLD | Wonoarum - Pasar Loak - Dukuh Kupang PP |
WLD2 | Bulak Banteng - Dukuh Kupang PP |
RT | Rungkut - Pasar Turi PP |
LMJ | Lakarsantri - Manukan Kulon - Kalimas Barat PP |
BM | Bratang - Perumnas Menanggal PP |
JBMN | Joyoboyo - Gunung Anyar PP |
LK | Manukan Kulon - Pasar Loak - Kenjeran PP |
GL | Pasar Loak - Gadung PP |
JK | Joyoboyo - Kalijudan - Kenjeran PP |
IM | Benowo - Simokerto |
WB | Wonosari - Bratang PP |
DKM | Dukuh Kupang - Menanggal PP |
DKB | Dukuh Kupang - Benowo PP |
BJ | Benowo - Kalimas Barat PP |
RDK | Dukuh Kupang - Benowo PP |
UBB | Ujung Baru - Bratang PP |
UBK | Ujung Baru - Kenjeran PP |
JMK | Kenjeran - Kalimas Barat PP |
KIP1 | Kutisari Indah - Petojo PP (Lewat Tengah) PP |
KIP2 | Kutisari Indah - Petojo PP (Lewat Timur) PP |
GS | Gunung Anyar - Sidorame PP |
RBK | Rungkut Barata - Kenjeran PP |
DWM | Balongsari - Pangkalan Karah PP |
Kereta
Transportasi kota Surabaya juga dihubungkan oleh kereta api dan komuter Surabaya – Sidoarjo. Jaringan jalan kereta api di wilayah Surabaya yang dikelola Daerah Operasi VIII merupakan pusat dari jaringan kereta api wilayah Timur Jawa. Dari stasiun-stasiun di Surabaya yaitu Stasiun Kota , Stasiun Pasar Turi , Stasiun Gubeng dan Stasiun Wonokromo menyebar jaringan jalan kereta api ke seluruh wilayah Jawa Timur, jaringan Surabaya – Jakarta lewat Pantura dan Selatan; jaringan Surabaya – Bandung.
Selain itu juga merupakan bagian jaringan angkutan barang menggunakan kereta api Banyuwangi – Surabaya – Jakarta – Cilegon.
Di wilayah kota Surabaya terdapat 7 stasiun kereta api yaitu : a) Pasar Turi, b) Tandes, c) Kandangan, d) Benowo, e) Surabaya Kota/Semut, f) Gubeng, dan g) Wonokromo.
Untuk mendukung pengoperasian kereta api komuter yang melayani Surabaya – Sidoarjo, maka di wilayah Kota Surabaya telah dibangun 4 buah shelter antara lain : 1) Ngagel, 2) Margosari, 3)Jemursari, dan 4) Menanggal.
Pelabuhan
Transportasi laut didukung fasilitas kapal penumpang dengan rute ke seluruh kawasan Indonesia dari kawasan Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.
Peta Surabaya-Tanjung Perak
Tanjung Perak merupakan salah satu pelabuhan pintu gerbang di Indonesia. Tanjung Perak telah menjadi pusat kolektor dan distributor barang ke Kawasan Timur Indonesia, khususnya untuk Propinsi Jawa Timur.
Karena letaknya yang strategis dan didukung oleh daerah hinterland Jawa Timur yang potensial, pelabuhan Tanjung Perak juga merupakan pusat pelayaran intersulair kawasan Timur Indonesia. Dahulu, Kapal-kapal samudera membongkar dan memuat barang-barangnya melalui tongkangtongkang dan perahu-perahu yang dapat mencapai Jembatan Merah (pelabuhan pertama pada waktu itu) yang berada di jantung kota Surabaya melalui sungai Kalimas. Karena perkembangan lalu lintas perdagangan dan peningkatan arus barang serta bertambahnya arus transportasi maka fasilitas dermaga di Jembatan Merah itu akhimya tidak mencukupi.
Kemudian pada tahun 1975, Ir.W. de Jongth menyusun suatu rencana pembangunan pelabuhan Tanjung Perak agar dapat memberikan kesempatan hepada kapal-kapal samudera membongkar dan memuat secara langsung tanpa bantuan tongkangtongkang dan perahu-perahu. Akan tetapi rencana ini kemudian ditolak karena biayanya yang sangat tinggi.
Baru pada sepuluh tahun pertama abad ke-20, Ir. WB. Van Goor membuat suatu rencana yang lebih realistik yang menekankan suatu keharusan bagi kapal-kapal samudera untuk merapatkan kapalnya pada kade. Dua orang ahli di datangkan dari Belanda yaitu Prof.DR.J Kraus dan G.J. de Jongth untuk memberikan suatu saran mengenai pelaksanaan rencana pembangunan pelabuhan Tanjung Perak.
Setelah tahun 1910, maka pembangunan pelabuhan Tanjung Perak dimulai. Selama dilaksanakan pembangunan, ternyata banyak sekali permintaan untuk menggunakan kade yang belum seluruhnya selesai itu. Dengan demikian, maka dilaksanakanlah perluasannya. Sejak saat itulah, Pelabuhan Tanjung Perak telah memberikan suatu kontribusi yang cukup besar hagi perkembangan ekonomi dan memiliki peranan yang penting tidak hanya bagi peningkatan Lalu lintas perdagangan di Jawa Timur tetapi juga diseluruh Kawasan Timur Indonesia.
Penerbangan
Sesuai dengan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dan untuk memungkinkan berkembang lebih pesat, dengan Keputusan Menteri/Kepala Staf Angkatan Udara No. 488, 1 Agustus 1960 dibentuk Lembaga Persiapan Industri Penerbangan/LAPIP. Lembaga yang diresmikan pada 16 Desember 1961 ini bertugas menyiapkan pembangunan industri penerbangan yang mampu memberikan dukungan bagi penerbangan di Indonesia.
Tanggal 28 April 1976 berdasar Akte Notaris No. 15, di Jakarta didirikan PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio dengan Dr, BJ. Habibie selaku Direktur Utama. Selesai pembangunan fisik yang diperlukan untuk berjalannya program yang telah dipersiapkan, pada 23 Agustus 1976 Presiden Soeharto meresmikan industri pesawat terbang ini. Dalam perjalanannya kemudian, pada 11 Oktober 1985, PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio berubah menjadi PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara atau IPTN.
Dari tahun 1976 cakrawala baru tumbuhnya industri pesawat terbang modern dan lengkap di Indonesia di mulai. Di periode inilah semua aspek prasarana, sarana, SDM, hukum dan regulasi serta aspek lainnya yang berkaitan dan mendukung keberadaan industri pesawat terbang berusaha ditata. Selain itu melalui industri ini dikembangkan suatu konsep alih/transformasi teknologi dan industri progresif yang ternyata memberikan hasil optimal dalam penguasaan teknologi kedirgantaraan dalam waktu relatif singkat, 24 tahun.
Di Jawa Timur terdapat Bandara International yakni Bandara Juanda. Membludaknya jumlah penumpang pesawat udara di Bandara Juanda setiap tahunnya membuat Jatim layak memiliki multiple airport . Langkah membuka kembali Bandara Juanda lama sebagai perluasan Juanda baru dinilai kurang ideal untuk jangka panjang. “Langkah jangka panjang yang harus dilakukan adalah membuat bandara baru di lokasi lain. Pemanfaatan Bandara Juanda lama hanyalah langkah emergency untuk mengalihkan penumpang yang saat ini sudah tak tertampung di Juanda baru, “ujar Ketua Association of the Indonesia Tours and Travel (Asita) Jatim, Haryono Gondosoewito ketika dihubungi, Senin (10/1).
Desakan tersebut merupakan tanggapan dari keputusan pemerintah yang baru akan membuka dua bandara internasional baru yaitu di Jakarta dan Bali.
Menurutnya, langkah yang dilakukan pemerintah serta PT Angkasa Pura dengan mengoperasikan Juanda lama diprediksinya tidak akan bertahan lama. Maskapai penerbangan berbiaya murah (Low Cost Carrier/LCC) yang berkembang bak cendawan di musim hujan dinilainya sebagai faktor utama.
“Seperti di negara-negara lain, LCC berkembang sangat pesat. Inilah juga yang harus diantisipasi karena penumpang LCC sekarang sudah tumbuh sangat banyak,” tuturnya.
Mengenai overloadnya Bandara Juanda yang terhitung relatif baru, dioperasikan pada 2006, dinilai Haryono sebagai kesalahan fatal. Ia mengungkapkan, survei kelayakan dan kebutuhan Bandara Juanda baru, molor beberapa tahun dari yang dijadwalkan. Akibatnya data yang digunakan tidak lagi valid. “Itulah kenapa sebentar saja sudah overload,” tandasnya.
Ia mengimbau, apabila ada rencana pembangunan Bandara baru nantinya, survei yang dilakukan harusnya betul-betul valid dan up to date.
Mengenai lokasi Bandara baru, Haryono menyebut Lamongan dan Madura cukup layak dijadikan pilihan. “Bagi saya yang penting akses transportasi mudah dan tidak terlalu jauh dari Surabaya,” tandasnya.
Sebelumnya, pengamat penerbangan, Dudi Sudibyo mengatakan Madura merupakan daerah yang cocok untuk pengembangan Bandara pendamping Juanda. Selain faktor alam yang dirasanya mendukung, kemudahan transportasi ke pulau tersebut sudah terpenuhi berkat adanya jembatan Suramadu.
“Secara geografis kondisi Madura cukup cocok dijadikan Bandara karena tanahnya cenderung landai dan tidak berbukit. Selain itu, adanya jembatan Suramadu juga memudahkan arus transportasi ke Surabaya yang menjadi kota utama di Jatim,” katanya.
Pemerintah menurutnya, harus memulai kajian untuk menjadikan Madura sebagai alternatif lokasi Bandara Utama di Jatim disamping Juanda. Bandara Juanda selama ini diakuinya bertumbuh sangat pesat. Buktinya, baru dibuka pada akhir 2006 dengan estimasi bisa menampung penumpang hingga 5 tahun, ironisnya sejak tahun lalu saja sudah kelebihan kapasitas hingga separonya.
Ia mengatakan, beberapa kota besar di Asia kini juga menggunakan lebih satu Bandara untuk melayani penumpang di kota tersebut. Dudi mencontohkan di Bangkok yang mempunyai 2 Bandara, Don Mueang International Airport yang kebanyakan melayani penerbangan domestik serta Suvarnabhumi Airport yang menjadi Bandara utama di kota tersebut. “Bandara Juanda bisa mencontoh Bangkok, yang baru misalnya untuk internasional saja, terus yang lama untuk domestik,” katanya.
Sementara rencana pembuatan bandara baru diakui General Manager PT Angkasa Pura I, Trikora Harjo bisa dikategorikan sebagai rencana jangka panjang. Banyak aspek yang harus diteliti dan menjadi syarat untuk membuat satu bandara baru. Salah satunya adalah faktor cuaca.
Misalnya saja, sepanjang tahun di area yang diputuskan untuk menjadi Bandara tersebut arah angin tidak boleh berubah. “Misalnya saja angin yang berhembus ke arah barat, maka sepanjang tahun tidak boleh ada angin yang hembusannya bersilangan seperti dari utara atau selatan karena itu jelas akan sangat membahayakan penerbangan khususnya saat take-off atau landing,” jelasnya.
Ia memberi contoh di Bandara Juanda yang runway-nya membujur dari Timur ke Barat, tidak ada angin yang berhembus dari utara atau selatan sepanjang tahunnya. Kajian mengenai kondisi cuaca juga membutuhkan waktu yang sangat lama untuk membangun sebuah Bandara baru. “Paling tidak butuh lebih dari 10 tahun untuk kajian pembuatan Bandara Baru,” katanya.
Mengenai kemungkinan Bandara baru di Madura, Trikora mengatakan pihaknya belum fokus ke kebijakan tersebut. saat ini pihaknya masih fokus mengembalikan fungsi bandara lama juanda untuk bisa dioperasikan lagi. Selain itu, pihaknya kini juga sedang mempersiapkan pembangunan runway tambahan untuk mengurangi kepadatan arus lalu lintas pesawat serta renovasi Bandara baru. “Setelah mengoperasikan kembali Bandara lama, kami juga akan memperluas Bandara baru dan selanjutnya membangun double runway untuk memperlancar arus keluar masuk pesawat,” katanya.
Nantinya, runway baru akan dibangun di sisi utara terminal yang sekarang sudah ada. “Konsepnya akan ada double runway di Bandara Juanda, sedangkan terminal nantinya akan berada di tengah-tengah dua runway tersebut,” papar Trikora.
Rencana perluasan Bandara baru akan dilakukan setelah renovasi Bandara lama selesai dilakukan. Mengenai perluasan maupun dana yang dibutuhkan, masih dalam pengkajian.
Berdasarkan data yang dihimpun PT AP I, arus lalu lintas pesawat di Bandara Juanda sebanyak 250 unit per hari. Volume penumpang pada tahun 2009 sebesar 10,63 juta, target penumpang 2010 sebesar 11,13 juta penumpang. Adapun traffic pesawat pada 2009 totalnya mencapai 94.066 unit, sedangkan untuk 2010 ditargetkan mencapai 94.711 unit pesawat. Sementara itu, volume penumpang di Bandara Juanda Baru saat ini sudah melebihi kapasitas.
C. KEMACETAN YANG TERJADI
Transportasi diartikan sebagai usaha memindahkan, mengangkut, atau mengalihkan suatu objek dari suatu tempat ke tempat lain, dimana di tempat lain objek tersebut lebih bermanfaat atau dapat berguna untuk tujuan-tujuan tertentu. Dari pengertian tersebut dapat dimengerti bahwa transportasi merupakan sebuah proses yakni proses pindah, proses gerak, dan mengalihkan dimana proses ini tidak bisa dilepaskan dari sarana dan prasarana untuk menjamin lancarnya proses perpindahan sesuai dengan waktu yang diinginkan.
Sebagai salah satu infrastruktur dasar di suatu wilayah, sarana dan prasarana transportasi diharapkan menjadi pemicu akan adanya perkembangan suatu wilayah. Tetapi ada kalanya perkembangan suatu kota menjadi lebih cepat dibandingkan dengan fasilitas transportasi. Kenyataan itulah yang menyebabkan timbulnya permasalahan transportasi.
Inti persoalan lalu lintas menurut Buchanan adalah warisan sistem jalan, aksesibilitas, lingkungan, mobilitas, lalu lintas pejalan dan benturan kepentingan. Sedangkan permasalahan umum dalam transportasi adalah demand yang lebih besar daripada supply (demand>supply), lingkungan, pendanaan, pengawasan dan ketegasan hukum.
Permasalahan transportasi tersebut sering kali diakibatkan oleh perencanaan transportasi itu sendiri. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya kesalahan dalam perkiraan perkembangan wilayah kota sehingga terjadi kesalahan dalam perencanaan prasarana dan sarana transportasi.
Sebagai salah satu dari kota-kota besar di Indonesia, kota Surabaya berkembang dengan cukup pesat dari tahun ke tahun. Perkembangan tersebut terlihat dengan makin banyaknya lahan terbangun di surabaya yang mengakibatkan kebutuhan akan transportasi semakin meningkat. Namun kekurangan pemerintah akan penyediaan prasarana serta sarana transportasi menyebabkan timbulnya permasalahan yang menyebabkan munculnya kemacetan di banyak titik di kota Surabaya.
Salah satu contoh fenomena dari permasalahan transportasi di Kota Surabaya adalah kemacetan yang hampir setiap hari terjadi di Jalan Semolowaru Tengah. Fenomena kemacetan di jalan Semolowaru tengah diakibatkan oleh volume kendaraan yang lebih besar dibanding kapasitas jalan. Selain diakibatkan oleh volume yang tidak sebanding dengan kapasitas jalan, penggunaan lahan, jenis kendaraan dan persimpangan juga mempengaruhi kinerja dari jalan tersebut.
Sebagai jalan penghubung antara kecamatan Rungkut dengan kecamatan Sukolilo, jalan Semolowaru Tengah menempati kelas jalan sebagai jalan kolektor sekunder dengan lebar jalan sebesar 5m dan terdiri dari 2 jalur dengan 1 lajur pada masing-masing jalurnya. Berdasarkan fungsinya sebagai jalan kolektor sekunder, jalan Semolowaru tengah dirasa kurang tepat difungsikan sebagai jalan kolektor sekunder. Hal tersebut terlihat dari lebar jalan yang tidak sesuai dengan standart yang ada. Berdasarkan standart yang berlaku, jalan kolektor sekunder didesain berdasarkan kecepatan paling rendah 20 Km/jam dan dengan lebar badan jalan tidak kurang dari 7 meter. Tetapi pada kenyataannya, jalan semolowaru tengah hanya memiliki lebar jalan 5m yang menyebabkan kapasitas jalan sangat minim dan menyebabkan penumpukan kendaraan pada jam-jam sibuk.
Keadaan jalan yang tidak sesuai dengan kriteria juga diperparah dengan kenyataan bahwa jalan Semolowaru tengah merupakan satu-satunya jalan pintas penghubung antara kecamatan Rungkut dengan Sukolilo. Hal tersebut mengakibatkan jenis pergerakan kendaraan sebagian besar adalah pergerakan eksternal-eksternal dan menyebabkan jumlah kendaraan yang melintasi jalan ini cukup tinggi dan semakin memperbesar gap antara volume lalu lintas dengan kapasitas jalan.
Penggunaan lahan atau landuse juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja suatu jalan. Tata guna lahan menimbulkan pola bangkitan dan tarikan, pola desired lines dan lalu lintas itu sendiri. Pada jalan Semolowaru tengah penggunaan lahan juga menjadi salah satu faktor yang berpengaruh pada kinerja jalan tersebut. Sebagian besar penggunaan lahan di jalan semolowaru tengah adalah perdagangan dan jasa seperti toko dan pasar serta permukiman. Adanya penggunaan lahan tersebut mengakibatkan adanya zona bangkitan dari permukiman dan tarikan dari zona perdagangan yaitu pasar pada pagi hari. Sedangkan pada sore hari, terjadi zona tarikan pada kawasan permukiman. Hal tersebut mengakibatkan jalan ini tidak pernah sepi dari aktivitas lalu lintas terutama pada jam-jam sibuk yaitu jam berangkat kerja atau sekolah (06.00-09.00) dan jam pulang kerja (17.00-18.00).
Selain keadaan jalan dan penggunaan lahan, kelas kendaraan yang melewati suatu jalan juga ikut mempengaruhi kinerja jalan tersebut. Setiap harinya jalan Semolowaru tengah selalu penuh dengan kendaraan bermotor baik kendaraan kelas ringan, berat, sepeda motor dan kendaraan tidak bermotor. Kendaraan kelas berat yang melewati jalan ini menyebabkan keadaan arus lalu lintas menjadi melambat dan menyebabkan tingkat pelayanan juga semakin menurun. Selain itu jenis kendaraan tidak bermotor seperti sepeda dan becak menjadi hambatan samping yang cukup mempengaruhi kinerja jalan tersebut.
Pada jalan semolowaru tengah terdapat beberapa simpul persimpangan yang menyebabkan tundaan dalam perjalanan. Persimpangan yang mengakibatkan simpul cukup berarti adalah perempatan antara jalan Semolowaru tengah, Semolowaru utara, Sukosemolo dan jalan raya Semolowaru. Perempatan yang tidak memiliki traffic light dan cukup ramai pada pagi dan sore hari tersebut menimbulkan kemacetan yang berimbas sampai dengan jalan semolowaru tengah. Meskipun ada petugas yang membantu melancarkan lalu lintas, tetapi keberadaannya tidak cukup berarti.
Fenomena kemacetan di jalan semolowaru tengah berakar dari permasalahan umum transportasi yaitu demand yang lebih besar dibandingkan supply (demand>supply) dan lingkungan. Kedua permasalahan umum tersebut seringkali menjadi penyebab utama dari fenomena kemacetan di kota-kota besar. Hal tersebut diakibatkan oleh perkembangan wilayah yang lebih cepat dibandingkan dengan perkembangan transportasi dan kurang matangnya perencanaan transportasi itu sendiri. Kemacetan tersebut dalam jangka pendek maupun jangka panjang dapat mengakibatkan kerugian bagi wilayah itu sendiri karena arus barang maupun manusia mengalami hambatan yaitu tundaan waktu perjalanan.
Penanganan kemacetan di Jalan Semolowaru tengah
Mengingat fungsi jalan Semolowaru tengah yang cukup penting sebagai jalan penghubung antara kecamatan rungkut dengan kecamatan sukolilo, maka sudah seharusnya dipikirkan solusi untuk mengatasi permasalahan lalu lintas tersebut. Meskipun saat ini telah dibangun jalan lingkar timur yang nantinya akan berpengaruh terhadap volume kendaraan yang melintas di jalan Semolowaru tengah, namun jalan tersebut baru akan efektif sekitar 1-2 tahun yang akan datang. Sementara pembangunan jalan lingkar timur sedang dilaksanakan, perlu dipikirkan suatu solusi untuk mengatasi kemacetan yang sampai saat ini selalu menjadi fenomena harian di jalan Semolowaru tengah. Berbagai solusi dapat dicari melalui manajemen lalu lintas dan travel demand management yang meliputi voluntary solution, market solution dan regulation solution.
Strategi dari manajemen lalu lintas terdiri dari strategi manajemen kapasitas, prioritas dan demand. Tetapi tidak keseluruhan dari strategi tersebut dapat diaplikasikan di jalan Semolowaru tengah. Berdasarkan fakta di lapangan, jalan Semolowaru tengah sudah tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan pelebaran jalan karena bangunan di daerah tersebut sudah sangat padat dan memiliki kemunduran bangunan yang tidak lebih dari 1,5 m. Solusi yang dapat diaplikasikan dari strategi manajemen lalu lintas adalah dengan melakukan pemisahan atau larangan melintas bagi kendaraan tipe berat. Meskipun solusi pemisahan tipe kendaraan hanya bersifat jangka pendek, namun diharapkan mampu mengurangi kemacetan di Jalan Semolowaru Tengah.
Strategi kedua yang dapat dijadikan solusi dalam menyelesaikan permasalahan transportasi di Jalan Semolowaru tengah adalah dengan Travel demand management. Travel demand management yang dapat diaplikasikan sebagai solusi di Jalan semolowaru Tengah adalah melalui regulation solution. Regulation solution dapat dijalankan melalui usaha perencanaan pengaturan kepadatan dan jenis tata guna lahan karena seperti yang kita ketahui bahwa kepadatan bangunan di jalan Semolowaru Tengah sangat padat dengan jenis tata guna lahan mayoritas perdagangan dan jasa. Untuk bangunan yang berfungsi sebagai toko disarankan untuk memiliki kemunduran bangunan minimal 2m. Hal tersebut dilakukan sebagai salah satu cara mengatasi parking on the road di depan toko yang dapat mempengaruhi kinerja jalan.
Kemacetan saat ini merupakan salah satu fenomena dalam transportasi yang paling banyak disoroti karena dampaknya sudah dirasakan oleh banyak masyarakat, khususnya masyarakat di kota-kota besar dengan tingkat mobilitas yang tinggi seperti Surabaya. Jika fenemona kemacetan tidak segera dicarikan solusinya, maka hal tersebut akan mempengaruhi tingkat perkembangan wilayah itu sendiri karena adanya ketidaklancaran dalam proses distribusi barang.
Tetapi tidak selamanya solusi untuk mengatasi kemacetan hanya melalui perbaikan fisik seperti pelebaran jalan dan pengaturan tata guna lahan, karena seperti yang kita ketahui jumlah lahan di kota-kota besar semakin terbatas sehingga tidak dimungkinkan lagi adanya pelebaran jalan. Oleh karena itu, solusi dalam mengatasi kemacetan juga membutuhkan kesadaran dari masyarakat untuk mulai berpindah dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Dengan berkurangnya jumlah kendaraan pribadi, maka volume kendaraan juga semakin berkurang. Selain itu kepatuhan masyarakat akan rambu lalu lintas dalam berkendara juga ikut mempengaruhi kelancaran lalu lintas dan menimbulkan kenyamanan bagi sesama pemakai jalan.
D. PENANGANAN KEMACETAN
Surabaya kembali meraih penghargaan Wahana Tata Nugraha (WTN), Senin(30/4) dan langsung dipamerkan di Balai Kota Surabaya. Sudah sebelas kali Surabaya mendapat penghargaan ini meski lalu lintas di kota ini semakin sulit diurai.
Kepala Dinas Perhubungan Surabaya, Mas Bambang Suprihadi, bahkan meramalkan pada 2010 lalu lintas Surabaya bakal macet total. Setiap kendaraan yang keluar rumah tidak bisa bergerak. Hal ini karena jumlah kendaraan pribadi membengkak, sedangkan ruas jalan tidak bertambah sejengkal pun. Sehingga diasumsikan jika seluruh kendaraan ini dijajarkan di jalan arteri, kapasitasnya sama dengan luas jalan raya utama.
“Ini karena perkembangan ruas jalan tidak sebanding dengan pertambahan jumlah kendaraan,” ujar Bambang, Senin (30/4).
“Ini karena perkembangan ruas jalan tidak sebanding dengan pertambahan jumlah kendaraan,” ujar Bambang, Senin (30/4).
Menurut catatan Dinas Perhubungan Kota Surabaya, laju pertumbuhan kendaraan pribadi rata-rata 11 persen per tahun. Data yang dihimpun Surya dari Dinas Perhubungan (Dishub) Jatim, menyebutkan terdapat sembilan titik kemacetan di Surabaya yang memiliki rasio kepadatan lalu lintas alias traffic density ratio (TDR) sekitar 0,8. Padahal, lalu lintas dikategorikan lancar apabila memiliki TDR di bawah 0,6 dan disebut macet total apabila TDR bernilai 1. TDR merupakan perbandingan volume kendaraan terhadap kapasitas jalan.
Saat ini, tercatat 1,4 juta unit kendaraan menyusuri jalanan Surabaya tiap hari, atau membengkak jauh dari tahun 2005, yaitu 1 juta unit. Rata-rata pertambahan jumlah kendaraan adalah 110.000 unit per tahun. Pada 2005, selama Januari hingga Maret 2005, tercatat ada 34.430 unit kendaraan baru ada di kota ini. Perinciannya, sebanyak 28.563 kendaraan roda dua dan 5.867 unit roda empat.
Kendaraan roda dua menempati urutan teratas dalam jumlah yaitu 1 juta unit atau 77 persen dari seluruh jumlah kendaraan bermotor. Mobil pribadi di urutan kedua dengan jumlah 200.000 unit lebih atau 12 persen dari total kendaraan bermotor.
Lantas di mana angkutan umum? Menurut data, kendaraan umum menjadi juru kunci dengan jumlah sekitar 90.000 unit delapan persen.
Di luar jumlah kendaraan yang tak terkendali, seluruh proyek jalan mandek atau setidaknya berjalan seperti siput. Menurut catatan Surya, ada 11 titik yang masih menjadi pekerjaan rumah pemkot, di antaranya lingkar timur Middle East Ring Road (MERR), Rangkah-Kenjeran, Menur, Kedung Baruk, Jolotundo-Pacarkeling, terusan Masjid Al Akbar, akses Suramadu, jalur lambat A Yani, jalur kembar Gunungsari, terusan Wiyung, dan HR Muhamad.
Ini belum termasuk gagasan proyek jalur arteri lain yang masuk dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) Surabaya namun belum pernah dibahas kembali dalam rancangan teknis.
Di antaranya proyek lingkar timur luar yang melewati Gununganyar- Sukolilo-Kenjeran, dua proyek lingkar barat, Wiyung Margomulyo dan Lakarsantri-Benowo, jalan kembar Banyuurip-Benowo, Pelebaran Raya Rungkut, jalur kembar Arief Rahman Hakim, jalur kembar Jagir, jalur kembar Gunungsari-Lakarsantri dan lain sebagainya.
“Jika gagasan tentang transportasi massa tidak terealisasi ramalan kemacetan total 2010 tidak mustahil terjadi,” ujar Bambang.
“Jika gagasan tentang transportasi massa tidak terealisasi ramalan kemacetan total 2010 tidak mustahil terjadi,” ujar Bambang.
Sementara menunggu proyek-proyek itu diselesaikan, kemacetan di segala penjuru Surabaya sudah sangat mengkhawatirkan. Tengok saja di enam titik Jl A Yani, perempatan Semolowaru, Nginden, Jemursari, Kalirungkut, Kapasari, Kapas Krampung, Gembong dan sebagainya.
Dishub Surabaya harus memutar otak untuk mengurangi kemacetan demi kemacetan. “Kami hanya merekayasa lalu lintas dengan menambah rambu dan memikirkan mengubah arus agar lebih efektif,” tegasnya.
Sedangkan Wali Kota Surabaya, Bambang DH, mengaku belum puas dengan WTN meskipun tiap tahun diberikan. ”Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk perbaikan ini,” tegasnya.
Dari BRT hingga Monorel
Tak ada pilihan lain untuk mengurai kemacetan selain mengurangi jumlah kendaraan pribadi dan memperbaiki kualitas transportasi massal. Sedangkan penambahan ruas jalan di pusat kemacetan mustahil.
Badan Perancanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya punya banyak pilihan soal sistem transportasi massal urban mass transit system (UMTS) selama lima tahun terakhir. Untuk yang berbasis jalan raya dapat digunakan bus rapid transportation (BRT) dengan jalur khusus bus atau busway. Sementara untuk yang berbasis rel dapat digunakan rapid rail transit (RRT), light rait transit (LRT), atau urban/suburban rail transit (URT). Ini termasuk kereta jalur tunggal atau monorail, tram, dan kereta bawah tanah atau subway.
Bus air sudah digagas sejak 2004. Rencananya bus air bakal menyusuri kali Surabaya menghubungkan Rolak Gunungsari - Karang Pilang - Sepanjang, Bebekan hingga Desa Cangkir Gresik. Rute sepanjang 15 km itu akan dilayani delapan halte di kanan-kiri sungai.
Namun belakangan pilihan pertama jatuh pada BRT. Saat ini tahapan realisasi BRT sudah mencapai detailed engineering design (DED). Bahkan terakhir, pembicaraan antara Pemkot Surabaya, Pemprov Jatim dan Ditjen Perhubungan Darat Departemen Perhubungan sudah menyentuh kebutuhan investasi.
Anggaran yang semula Rp 241 miliar diperas menjadi Rp163,1 miliar, dengan perhitungan BRT akan menggunakan depo milik Perum Damri. Wali Kota Surabaya, Bambang DH, mengatakan BRT segera teralisasi pada 2008. dijadwalkan sudah beroperasi mulai April 2009.
“Kami serius membangun moda trasportasi massa, buktinya saat ini tengah dialokasikan anggaran untuk BRT,” tegasnya. Menyusul BRT, pada 2009 segera disusul jaringan traspoortasi kereta api jalur ganda. Surabaya menjadi bagian dari proyek raksasa pemerintah pusat dan La Societe Nationale des Chemins de Fer (Perusahaan Kereta Api Perancis/SNCF). “Sementara untuk subway atau monorail masih belum dibahas detail, karena terbentur anggaran,” ujar Suprihadi.
Selain itu, penambahan jalan saja tidak akan mampu mengurai kemacetan. Pembangunan jalan baru seperti tol tengah kota hanya akan memfasilitasi kendaraan bermotor pribadi (car mobility). Padahal untuk mengatasi kemacetan, yang paling utama adalah bagaimana memudahkan seseorang untuk melakukan perjalanan (human mobility).
Pakar transportasi dari Universitas Kristen Petra, Rudy Setiawan mengungkapkan itu dalam diskusi cangkrukan bertema “Tol Tengah Antara Pro Kontra dan Alternatifnya” di kampus UK Petra, Jumat (7/1).
“Tol tengah kota yang kini jadi menimbulkan sikap pro dan kontra itu adalah konsep lama. Tol tengah kota nantinya malah akan membangkitkan lalu lintas baru yang akhirnya menambah kemacetan,” tandasnya.
Rudi menambahkan, bukan berarti pembangunan jalan harus dihentikan. Pembangunan jalan harus dilakukan secara komprehensif dan seimbang. Selama ini, antara akses utara-selatan dengan timur-barat kurang seimbang. Seluruh jalan yang masuk kota dan melingkar kota dapat menuju ke pusat kota sehingga dapat mengurai kemacetan. Namun, konsep utama mengurai kemacetan human mobility harus terus dijalankan. “Perlu ada pemikiran untuk membagi peranan antara jalan raya, rel kereta api, bahkan mungkin mengaktifkan kembali transportasi sungai,” katanya.
Pengelolaan kemacetan di pusat kota sebaiknya dilakukan dengan mengelola kebutuhan dan pembagian jenis transportasi. Konsep tol tengah adalah hanya menambah jalan baru yang justru akan menimbulkan kemacetan baru.
Hal senada juga diungkapkan Benny Poerbantanoe. Pakar tata kota asal UK Petra ini menggulirkan penggunaan rel kereta api sebagai pengganti untuk mengurai kemacetan yang sebelumnya ditawarkan dengan pembangunan tol tengah. Menurutnya, sistem jaringan kereta api di Surabaya sudah sangat mumpuni hanya kurang terpikirkan sebagai alternatif. “Menurut catatan sejarah, tahun 1890 sistem jaringan kereta api di Jawa merupakan paling bagus kedua di seluruh dunia. Kita harus bangga karena Surabaya jadi bagian itu, tetapi sekarang potensi rel seolah terabaikan,” katanya.
Jika dibandingkan, lanjut Benny, jumlah anggaran tol tengah yang menelan Rp 9 trilliun tidak akan habis jika pilihan dijatuhkan untuk merestrukturisasi kereta api. Sebuah rangkaian KA saja, hanya membutuhkan Rp 3 miliar. Bisa dibayangkan berapa banyak rangkaian kereta yang bisa dibuat dengan dana tol tengah yang mencapai Rp 9 triliiun.
“Kita masih lemah dan enggan membuka konsep lama pembangunan kota. Padahal Surabaya punya kapasitas jalan lain yang bisa digunakan, dalam hal ini rel kereta api,” katanya.
Dirinya juga menilai, pembangunan jalan tol akan lebih tepat jika diterapkan untuk menghubungkan antar kota dan bukan dibangun di dalam kota. Menurutnya, tidak akan ada solusi yang sifatnya mutlak, karena itulah pembangunan sistem transportasi perlu dilakukan secara berkesinambungan.
“Solusi transportasi harus disikapi dengan hati-hati. Ini karena jika orang senang menggunakan tol tengah, maka akan mengundang kemacetan kembali. Tol tengah menjadi macet, itu hanya masalah waktu,” timpal Rudi
Jadi, kesimpulannya ialah Pemerintah Kotamadya Surabaya mestinya lebih memperhatikan sarana transportasi melalui jalur kereta. Jika sarana kereta direnovasi maka akan memperkecil kemungkinan terjadinya macet, sehingga dapat mengurangi tingkat kemacetan di Kota Surabaya itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar